Menggagas Pendidikan Bebas Kapitalisme
Bahwa kapitalisme telah sukses membawa peradaban dunia menjadi lebih maju, itu saya sepakat. Bahkan Cina yang notabene negara komunis yang seharusnya menerapkan sistem sosialisme, pun membuka diri pada kapitalisme, sehingga dia pun menjadi imperium baru di dunia modern yang cukup diperhitungkan. Namun, ketika kemudian kapitalisme merambah kedunia pendidikan, ini tidak bisa begitu saja diangggap positif.
Dewasa ini di Indonesia efek-efek paham kapitalisme telah bergumul dengan sistem pendidikan. Paradigma berfikir dalam kapitalisme yang profit oriented telah menjadikan pendidikan di negri ini cenderung semakin elitis dan semakin sulit dijangkau oleh kalangan miskin. Kekuatan kapitalisme telah mempengaruhi pemerintah kita, sehingga kebijakan-kebijakan pendidikan kita pun menjadi dikriminatif yang justru menyulitkan akses masyarakat miskin ke pendidikan. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan aset bangsa yang sangat penting. Pendidikan merupakan modal utama untuk mebangun negri. Pendidikan merupakan pilar utama untuk meretas kecerdasan dan pencerahan bagi masyarakat Indonesia.
Pemikiran bahwa pendidikan bermutu memerlukan biaya yang tinggi adalah menyesatkan. Memang, pendidikan yang berkualitas dan bermutu memerlukan biaya dan fasilitas yang mahal, namun bukan berarti bebannya harus ditanggung oleh rakyat! Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN—yang merupakan amanat konstitusi—sepertinya masih jauh panggang dari api. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sebuah produk hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air ternyata tidak sepenuhnya direalisasikan oleh pemerintah kita. Bahkan diam-diam mereka pun menerapkan paradigma kapitalisme.
Pasal (5) dengan tegas menyebutkan: …negara menjamin setiap warga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Untuk mewujudkan itu, dalam Pasal (49) dinyatakan: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Pendidikan mahal juga memunculkan ekses-ekses sosial serius di lapisan masyarakat bawah. Yanto, seorang anak SD dari Garut, misalnya, bunuh diri hanya karena tak sanggup membayar SPP Rp 2.500. Seorang gadis gantung diri karena tidak dapat ikut karyawisata yang hanya Rp 11.000. Seorang ibu dianiaya akibat mencuri buah nangka muda karena sang anak meminta biaya untuk iuran sekolah. Tindak kekerasan juga akan sangat mudah terjadi karena tidak ada lagi lembaga yang akan mengajarkan manusia tentang arti keperibadian, moral, etika, serta saling hormat dan menghormati.
Problem kesenjangan sosial akhirnya semakin terbuka lebar. Yang kaya semakin kaya dan pintar; yang miskin semakin miskin dan bodoh. Orang miskin semakin terhambat untuk mendapatkan aktualisasi eksistensi kecerdasannya. Sungguh, inilah tontonan ketidakadilan yang sangat vulgar di negri yang penuh dengan kekayaan alam dan terkenal ramah ini.
Masuknya pengaruh kapitalisme dalam dunia pendidikan juga mengakibatkan orientasi sejati pendidikan menjadi terbiaskan. Paradigma profit oriented tidak hanya mempengaruhi sistem pendidikan, tetapi bahkan berhasil mengubah orientasi anak didik (pelajar/mahasiswa). Pendidikan yang sejatinya beroientasi sebagai wahana pembebasan, pemberdayaan, dan pendewasaan pun berubah menjadi mesin pencetak buruh-buruh kapitalis.
Sistem pendidikan Indonesia terkesan cenderung mendorong para peserta didik tak ubahnya seperti mesin. Pendidikan kita hanya menerapkan sistem kompetisi yang ujung-ujungnya dimanfaatkan untuk kepentingan para kapitalis, bukan untuk menjadikan sebagai pribadi yang terdidik dan terdewasakan. Sehingga—jika tetap demikian yang terjadi—sapai kapanpun Indonesia tidak akan pernah menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus segera dilakukan langkah konkret sebagai upaya menanggulangi permasalahan tersebut. Untuk itu diperlukan kerjasama yang kuat dalam berbagai pihak dan ini harus dimulai dari tataran yang paling bawah. Masyarakat harus segera sadar dan paham bahwa pendidikan sangat penting terhadap masa depan keluarganya lebih-lebih pada masa depan bangsa Indonesia. Selain itu kesadaran kesadaran yang demikian juga harus untuk dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti, SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus memperhatikan kondisi masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan. Lembaga-lembaga tersebut juga harus membuang jauh-jauh pemikiran yang bersifat profit oriented dalam dunia pendidikan sehingga aroma- aroma kapitalisme tidak lagi bermunculan dalam dunia pendidikan kita, karena bagaimanapun itu akan sangat mengganggu bagi pendewasaan, kecerdasan, dan pencerahan bangsa. Tentunya pimpinan tertinggi dalam suatu sekolahlah ( kepala sekolah) yang harus mampu memberikan doktrin dan motivasi dalam mengentaskan kebodohan bangsa ini dengan harapan bangsa kita mampu eksis di kalangan intelektual dunia.
Selanjutnya perguruan tinggi, dalam hal ini perguruan tinggi sangat berperan penting untuk mengatasi kapitalisasi pendidikan. Dengan tri darma perguruan tingginya diharapkan kelembagaan maupun mahasiswa dari perguruan tinggi mampu mengamalkan tri darma tersebut. Dengan program- program yang telah di canangkan dalam masing-masing, perguruan tinggi diharapkan mampu menyentuh masyarakat yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan dalam hal ini kegiatan yang biasa diwujudkan berupa penyuluhan pendidikan, serta memberikan semangat kepada masyarakat serta anak-anak yang putus sekolah dan belum pernah sama sekali menyem pendidikan disekolah.
Untuk mendukung semua itu, tentunya pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggungjawab. Pemirntah harus sesegera mungkin melepaskan jerat kapitalisme dalam dunia pendidikan. Bagaimanapun pemerintah dengan UU-nya serta kebijakannya akan sangat menentukan terhadap mutu pendidikan serta prospek pendidikan di tanah air kita. Semoga.