PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang tua muslim menyadari bahwa pada hakikatnya anak adalah amanat Allah SWT yang dipercayakan (diamanatkan) kepada dirinya. Kesadaran para orang tua muslim akan hakikat anak mereka sebagai amanat Allah SWT sepantasnya ini ditanggapi dengan penuh tanggung jawab. Setiap muslim pasti menyadari bahwa Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya agar mengemban amanat itu dengan baik. Dengan demikian, maka orang tua pantang mengkhianati amanat Allah SWT. Dan hukum mengemban amanat-Nya pun wajib bagi mereka. Dari sekian perintah Allah SWT yang berkenaan dengan amanat-Nya yang berupa anak adalah bahwa setiap orang tua wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan baik dan benar, agar mereka tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh. Inilah salah satu tanggung jawab orang tua. Dengan begitu Pendidikan anak-anak sejak kecil harus mendapat perhatian terutama dalam pendidikan akhlak agar anak mereka tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan tumbuh dewasa menjadi generasi yang soleh dan solekhah. Untuk melaksanakan pendidikan ini tidak hanya terletak pada lembaga formal (sekolah) tapi terutama keluarga dan juga lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat, misalnya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sejarah TPA Tunas Melati
Sejarah berdirinya TPA Tunas Melati tidak terlepas dengan adanya Masjid Tunas Melati yang menjadi fungsi pokok dan sebagai tempat kegiatan TPA Tunas Melati. TPA Tunas Melati sebagi tempat pendidikan yang terletak di masjid tunas melati tegal melati, muja-muju Umbulharjo untuk anak-anak usia dini guna untuk menuntun perkembangan sikap dan prilaku yang berprilaku akhlakul karimah. Dengan harapan nanti bisa menjadi bekal perkembangan selanjutnya yaitu ketikat remaja. Dengan adanya hal tersebut anak memilki bekal prinsip dalam menaungi kehidupan pada saatnya.
TPA Tunas Melati mulai dirancang karena melihat kondisi masyarakat tegal melati yang semakin maju ini semakin jauh dari pendidikan agama islam.maka kemudia munjulah kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh pihak masjid dengan kmenjalin kerja sama dengan para pemuda tegal melati.sebelum modern tpa tunas melati pernah jaya karena terpengaruh oleh zaman ke emasan masjid tunas melati.akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran baik dari segi personel,tenaga pengajarnya yang semakin sedikit serta donatur yang sudah tidak ada sehingga sulit perkembangannya.
C. MISI dan misi
Visi :
“Membentuk Generasi Qur’ani, yang dapat Mengenal, Membaca, Memahami, Mengamalkan, dan Memasyarakatkan Al-Qur’an”
Misi
· Menyelengarakan pendidikan anak yang sistematis, terarah dan profesional.
· Memberi pelayanan dan membantu masyarakat di bidang pendidikan.
D. TUJUAN
v Membekali peserta didik dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunah sedini mungkinagar terbentuk pribadi islami.
v . Menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq yang sholeh sesuai taraf perkembangannya.
v Mendorong perkembanan psikis, fisik, intelektual dan sosial secara optimal sesuai tingkat perkembanan anak dan selaras denan nilai-nilai Islam.
E. Materi Pelajaran
Sesuai dengan tujuan dan targetnya, maka materi pelajaran dibedakan menjadi dua macam yaitu materi pokok dan materi tambahan. Yang dimaksud materi pokok adalah materi yang harus dikuasai benar oleh setiap santri dan dijadikan tolok ukur keberhasilan santri. Sebagai materi pokok santri adalah belajar membaca Al-Qur’an dengan menggunakan buku iqro’ jilid 1-6
Bila santri telah menyelesaikan jilid 6 dengan baik, dapat dipastikan ia dapat membaca Al- Qur’an dengan benar. Untuk selanjutnya ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Adapun materi tambahan adalah materi yang belum dijadikan syarat untuk menentukan lulus tidaknya santri tersebut. Sebagai materi tambahan adalah : Hafalan bacaan shalat dan prakteknya, hafalan doa sehari-hari, hafalan surat-surat pendek, hafalan kalimat thoyibah, bermain cerita, ibadah,aqidah dan akhlak
Materi: TPA tunas melati
1. Belajar Membaca Alqur'an dengan metode Qiroaati
2. Aqidah/keimanan dipelajari dengan metode narasi/deskriptif yang menarik dan membangkitkan keimanan
3. Fiqh/Ibadah dipelajari dengan praktek langsung dan menghafal do'a-do'a yang sesuai dengan sunnah Rasul
4. Akhlaq Islam disampaikan dengan narasi/deskriptif yang memberi motivasi untuk melaksanakannya.
5. Menyanyi dan bercerita dengan cerita-cerita teladan dilaksanakan untuk memperkuat hafalan dan pemahaman setiap materi yang disampaikan.
6. "Team building" yang disampaikan dengan simulasi dan permainan.
E. Tujuan dan Target TPA Tunas Melati
Kurikulum dan Pola Penyelenggaraan Pendidikan (KP3) Taman Pendidikan Al-Qur’an bertujuan :
1. Menyiapkan para santri agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang Qur’ani, mencintai Al-Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup.
2. Sebagai lingkungan pergaulan yang sehat dan Islami, hal ini penting bagi perkembangan jiwa anak, utamanya dalam proses sosialisasi
3. Secara lebih khusus mulai membekali para santri dengan kemampuan berpikir kreatif, mengembangkan dan mengasah potensi kepemimpinan yang ada pada dirinya.
Sedang untuk mencapai tujuan di atas ditentukan target operasional yaitu:
Ø Santri mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah- kaidah ilmu tajwid
Ø Santri mampu terbiasa melaksanakan shalat 5 waktu serta terbiasa hidup dengan adab-adab Islam sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya
Ø Santri hafal doa sehari-hari, mengerti cara menulis huruf-huruf Al-Qur’an.
Ø Santri mengenal dan memahami dasar-dasar berfikir kreatif dan teknik ketrampilan kepemimpinan sesuai dangan tingkatnya.
Problem yang ada di TPA Tunas Melati
1. Kondisi anak yang sulit di atur karena kebiasaan dan pergaulan
2. Personel ustadz dan ustadzah yang masih perlu banyak
3. Tempat untuk pembelajaran yang belum mencukupi karena harus numpang di TK
4. Dukungan dari wali santri sangat kurang karena banyak wali santri yang terdiri dari tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua/masyarakat yang relatif masih rendah.
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini yaitu
1.Bagi TPA hendaknya menguasai manajemen penyelenggaraan TPA dengan baik, penyuluhan yang dilakukan TPA kepada masyarakat hendaknya untuk lebih ditingkatkan lagi.
2.Bagi orang tua santri dan masyarakat hendaknya terus meningkatkan dukungan terhadap keberadaan TPA baik dukungan material maupun spirituil.
3.Bagi anak/santri hendaknya mengikuti pembinaan dengan sungguh-sungguh dan rajin serta membantu kelancaran pembinaan dengan cara menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan di TPA.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Skripsi ini berjudul "Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga” .Judul tersebut mengandung pengertian yang perlu penjelasan, penegasan, serta ruang lingkup agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami judul dan keinginan penulis.
1. Konsep merupakan kata atau istilah serta simbol untuk menunjuk pengertian dari pada barang sesuatu baik konkret maupun sesuatu hal yang bersifat abstrak.[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti sebagai rancangan ide, gambaran, atau pengertian dari peristiwa nyata atau konkret kepada yang abstrak dari sebuah obyek maupun proses.[2] Sedangkan konsep dalam penulisan ini ialah sejumlah rancangan, ide, gagasan, gambaran atau pengertian yang bersifat konkret maupun abstrak tentang materi dan metode pendidikan tauhid dalam keluarga menurut pendidikan Islam.
2. Pendidikan, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan;proses, perbuatan, cara mendidik.[3]
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai, norma hidup dan kehidupan generasi penerus. Ki Hajar Dewantara mengatakan…
“… mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[4]
3. Tauhid, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد) .Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa;Tunggal;satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui akan keesaan Allah;mengeesakan Allah”.[5] Jubaran Mas’ud menulis bahwa tauhid bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan dengan “لااله الا الله” “tiada Tuhan Selain Allah”.[6] Fuad Iframi Al-Bustani juga menulis hal yang sama. Menurutnya tauhid adalah Keyakinan bahwa Allah itu bersifat “Esa”.[7]Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (وحد) “yuwahhidu” (يوحد) “tauhidan” (توحيدا), yang berarti mengesakan Allah SWT.[8]
Menurut Syeikh Muhammad Abduh tauhid ialah :
suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya.Juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.[9]
Menurut Zainuddin, tauhid berasal dari kata “wahid”(واحد) yang artinya “satu”. Dalam istilah Agama Islam, tauhid ialah keyakinan tentang satu atau Esanya Allah, maka segala pikiran dan teori berikut argumentasinya yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu satu disebut dengan Ilmu Tauhid.[10]
Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir sama yakni :
a. Iman.
Menurut Asy ‘ariyah iman hanyalah membenarkan dalam hati. Senada dengan ini Imam Abu Hanifah mengatakn bahwa iman hanyalah ‘itiqad. Sedangkan amal adalah bukti iman. Namun tidak dinamai iman. Ulama Salaf di antaranya Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i, iman adalah
اعتقاد بالجنان ونطق باللسان وعمل بالاركان
“Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh”.[11]
b. Aqidah.
Menurut bahasa ialah keyakinan yang tersimpul kokoh di dalam hati, mengikat, dan merngandung perjanjian. Sedangkan menurut terminologis di antaranya pendapat Hasan al-Banna mengatakan bahwa aqidah ialah beberapa hal yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat mendatangkan ketenteraman, keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu-raguan.[12]Penyusun cenderung kepada pendapat Yunahar Ilyas yang mengidentikkan antara tauhid, iman, dan aqidah. Tauhid merupakan tema sentral aqidah dan iman.[13]
Setelah menguraikan kata pendidikan dan tauhid penulis perlu memberikan batasan dan ruang lingkup. Pendidikan tauhid dalam penulisan ini difokuskan kepada usaha yang dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kekuatan kodrat anak, agar mereka menjadi manusia muslim yang meyakini keesaan Allah , serta dapat mengamalkan ketauhidan yang ia miliki dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, melalui pengajaran, latihan, dan metode tertentu untuk menyampaikan materi-materi ketauhidan, yakni ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyyat.
4. Dalam, adalah kata adjektiva, dan jika bertemu dengan kata benda bermakna lingkungan daerah (negeri, keluarga) sendiri.[14]
5. Keluarga, kata benda ini dimaksudkan untuk ibu bapak beserta anak-anaknya;seisi rumah.[15] Menurut Masjfuk Zuhdi, keluarga merupakan satu kesatuan sosial terkecil dalam masyarakat yang telah diikat oleh tali perkawinan yang sah atau resmi.[16]Keluarga dalam penulisan ini adalah keluarga muslim, mengutip pendapat Khatib Ahmad Santhut bahwa keluarga muslim adalah keluarga dengan ayah dan ibu yang memegang teguh ajaran Allah SWT dan Sunnah Rasul, karena itu keluarga muslim merupakan intisari dan paling prinsipil dalam usaha membentuk, dan mewujudkan masyarakat muslim.[17]
Dari penegasan istilah tersebut penulis dalam skripsi ini meneliti dan membahas proses bimbingan yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap perkembangan ketauhidan anak-anaknya dengan bahan-bahan materi ketauhidan yang meliputi keilahiyatan, kenubuwatan, keruhaniyatan, dan kesam’iyatan tertentu dalam jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu yang diarahkan terciptanya pribadi yang berkepribadian bertauhid sesuai dengan ajaran Islam dalam sejumlah rancangan ide, gagasan, atau pengertian tentang pendidikan tauhid yang difokuskan pada masalah materi dan metodenya. Materi dalam penulisan ini bagaimana disampaikan secara bertahap sesuai dengan metode yang digunakan menurut perkembangan dan kemampuan anak-anak.
B. Latar Belakang Masalah
Islam lahir membawa akidah ketauhidan, melepaskan manusia kepada ikatan-ikatan kepada berhala-berhala, serta benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk Allah SWT. Ketauhidan yang membawa manusia kepada kebebasansejati terhadap apapun yang ada, menuju kepada ketundukan kepada Allah SWT. Penanaman tauhid ini dilakukan selama 13 tahun oleh Rasulullah SAW, waktu yang cukup panjang, namun hanya 40 orang saja yang mampu melepaskan budaya nenek moyangnya, berani mengingkari leluhur mereka, dan menuju jalan yang terang “tauhid Islamiyah”. Semua utusan Allah membawa pesan yang sama yakni tauhid bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Saat ini, di era modern ini, kita bersyukur sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut Al Quran dan Al Hadits. Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah Mistis, tabloid Posmo, koran Merapi, majalah Liberty.Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Meskipun tidak semua tayangan dan pemberitaan tersebut negatif.
Sebagaimana alasan yang dikemukakan oleh bangsa Arab ketika itu, sebenarnya mereka masih mengakui dan meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam ini, akan tetapi mereka berdalih bahwa dewa, berhala yang mereka sembah hanyalah sebagai jalan untuk menyampaikan doa dan harapan mereka kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi.Akankah kita kembali menggunakan alasan kaum Arab Jahiliyah?.
Sebagai contoh, Film layar lebar berjudul Jelangkung mencoba mengangkat tema horor yang banyak terjadi di masyarakat. Sineas muda Rizal Mantovani yang menggarap film itu , menyajikan sisi lain. Oleh Rizal, penggarapannya di sajikan pada sisi lain;pencahayaan yang dipadukan dengan setting alam, serta dukungan efek komputer lumayan, sehingga tercipta suasana mencekam, penuh kejutan-kejutan yang sulit ditebak.Hasilnya, meski banyak penonton yang takut, tetap saja membludak.
Sebenarnya terasa tidak berlebihan, bila kita menyebut Jelangkung adalah awal dari fenomena baru tayangan-tayangan misteri saat ini. Bahkan banyak perusahaan film di Tanah Air cenderung berlomba-lomba menggarap tayangan-tayangan bertema misteri atau horor. Sebut saja film Kafir (Satanic) yang diharapkan mengikuti kesuksesan Jelangkung, atau Titik Hitam yang mencoba menyiasati sisi lain sebuah tema misteri kegaiban.
Barangkali, munculnya tayangan film seperti itu baru mengikuti tren yang berkembang di masyarakat. Animo luar biasa terhadap tontonan yang berbau mistis saat ini lebih terasa bila dibandingkan tiga atau empat tahun lalu.
“Di antara beragam faktor yang menjadi penunjang tumbuh-suburnya perilaku mistik dan klenik di tengah bangsa Indonesia, tak pelak dipicu oleh sejumlah media massa, baik media cetak, lebih-lebih medium televisi. Medium yang terakhir ini (televisi), karena bersifat audio-visual, mempunyai daya cengkeram pengaruh yang amat dahsyat….”[18]
Tayangan-tayangan yang mengangkat hal-hal diluar jangkauan indrawi merebak di semua stasiun televisi, dari yang pakai trik kamera sampai yang minus rekayasa.Rasa ketakutan tapi disukai penonton dan sesuai rumus dagang, iklanpun berdatangan. Namun, orang tua yang jadi korban. Munculnya fenomena tayangan mistis di layar kaca, menurut pengamat televisi Garin Nugroho, tak lain karena ketatnya persaingan di antara TV-TV swasta untuk mendapatkan pesanan iklan. “Sebelas stasiun televisi yang bersifat nasional itu cukup berat bersaing untuk mendapatkan kue yang tetap kecil.” katanya.[19]Merebaknya program sejenis ini, tak bisa dipungkiri, diawali oleh program “Kismis” dari stasiun RCTI sejak tahun 2001.[20]
Pertanyaannya, apakah tayangan-tayangan seperti ini layak disajikan kepada penonton di tengah hiruk-pikuk kemoderenan teknologi? Barangkali, fenomena itu hanya sebuah alternatif di tengah-tengah kejenuhan tayangan soal politik, atau karena tak kunjung redanya krisis multidimensional yang tengah melanda negeri ini? Bisa saja itu sebagai Jawaban. Tetapi siapa tahu, justru tontonan semacam itu memang sudah dinantikan kehadirannya.Atau, jangan-jangan malah sebuah “proses pembodohan” yang menggiring kembali ke pola pikir masa lalu (back to traditional), sehingga lupa bahwa kita sedang memasuki dunia pasar bebas di era globalisasi!.[21]
Penceramah Lutfiah Sungkar mengatakan bahwa tayangan misteri dapat merusak akhlak dan sangat tidak mendidik. “Itu jadi menyesatkan umat,” ujar Lutfiah. Itulah sebabnya, kakak kandung aktor Mark Sungkar ini menghimbau kepada sejumlah pihak ikut peduli, seperti Departemen Agama untuk memperhatikan masalah ini. “Tolong diseleksi betul-betul,” kata Lutfiah.[22]
Tayangan supranatural itu tentu mengancam benteng aqidah seseorang. Keyakinan akan kehebatan, kesaktian dukun atau menganggap bahwa sebuah rumah itu ada sang penunggunya, sehingga perlu diberikan sesaji agar terhindar dari gangguannya, sesungguhnya merupakan perbuatan kufur. Tanpa harus mempercayai pun sesungguhnya manusia sudah diberikan kesempurnaan yang lebih layak ketimbang setan tersebut. Hanya saja, antisipasi agar terhindar dari bahaya syirik tentu harus semakin diperkokoh dengan menghindari tontonan yang justru akan merusak aqidah Islam seseorang tentu bagi yang masih rapuh ketauhidannya.[23]Meskipun tidak seluruh tayangan mistis berdampak negatif.
Masalah-masalah gaib kini menjadi topik dalam beberapa tayangan tayangan televisi, jin, setan hantu, pohon angker dan pesugihan, meskipun tayangan tersebut memberikan informasi bagi para penontonnya, namun hal ini membuat penulis tertarik ingin mengangkat masalah ketauhidan, masalah klasik namun harus tetap dan wajib bagi seorang muslim.
Dalam masa-masa dan keadaan krisis, manusia sangat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, mereka mendatangi siapa saja yang mereka anggap mampu menolong mereka seperti, orang-orang suci, para nabi, imam, para syuhada, bahkan meminta pertolongan pada malaikat dan peri. Dengan berbaiat dan bersumpah kepada para penolong itu, mereka memohon pertolongan yang mereka harap, dengan memohon agar yang mereka datangi itu bisa memenuhi keinginan mereka. Kadang ada juga menawarkan sesuatu persembahan yang istimewa kepada para penolong itu, sehingga (menurut pikiran mereka) akan lebih memperbesar kemungkinan akan terkabulnya semua keinginan mereka.[24]
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa sebagian umat Islam masih ada yang melakukan cara-cara yang dilakukan oleh orang non muslim dalam memperlakukan dewa-dewi mereka, kepada paranabi, orang-orang suci, imam, syuhada, malaikat dan roh halus. Namun, meski mereka melakukan dosa-dosa seperti di atas, mereka tetap mengaku masih sebagai orang Islam yang mereka merasa perbuatan itu tidak mengurangi kualitas keislamanya[25]
Sungguh benar firman Allah :
وما يؤمن اكثرهم بالله الا وهم مشركون (سورة يوسف : 106)
Artinya : Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). [26]
Lebih jauh lagi kita diperingatkan, bahwa siapapun yang berdoa kepada seseorang sebagai perantaranya, juga tergolong musyrik sebagaimana firman Allah :
الا لله الدين الخالص والذين اتخذوا من دونه اولياء ما نعبدهم الا ليقربونا الى
الله زلفى ان الله يحكم بينهم في ماهم فيه يختلفون ان الله لايهدي من هو كاذب كفار
)الزمر : 3)
Artinya :Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.[27]
Kepribadian muslim dibentuk sejak dini, orang tua sebagai seorang muslim haruslah memiliki keyakinan akidah tauhid yang berkualitas. Namun alangkah baiknya jika orang tua juga mengerti materi-materi ketauhidan, sehingga orang tua dapat membekali anak-anaknya dengan keilmuan yang didukung dengan ketauladanan tauhid sehingga terbentuk kepribadian seorang muslim sejati.
Semakin kurang tauhid seorang muslim, semakin rendah pula kadar akhlak, watak kepribadian, serta kesiapannya menerima konsep Islam sebagai pedoman dan pegangan hidunya. Sebaliknya, jika akidah tauhid seseorang telah kokoh dan mapan (established), maka terlihat jelas dalam setiap amaliahnya. Setiap konsep yang berasal dari Islam, pasti akan diterima secara utuh dan dengan lapang dada, tanpa rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan hanya untuk menolak.Inilah sikap yang dilahirkan dari seorang muslim sejati.[28]
Islam atau Al Quran menghendaki agar pengabdian, pemujaan, atau ketaatan hanya tertuju kepada Tuhan, dan bila berdoa taua berharap kepada-Nya, haruslah bersifat langsung tanpa perantara seperti yang dilakukan kaum musyrikin.
قل هو الله احد {1} الله الصمد {2} لم يلد ولم يولد {3} ولم يكن له كفوا احد {4} (سورة الاخلاص : 1-4)
Artinya : Katakanlah : “Dialah Allah , Yang Maha Esa, Allah adalah tuhan Yang bergantung kepadanya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.[29]
Pemurnian tauhid menolak segala bentuk kemusyrikan bahwa tidak ada satukekuatanpun yang menyamai Allah SWT. Tetapi sayangnya bahwa akidah itu telah dicampuri”-secara keseluruhan-oleh pemikiran-pemikiran yang diada-adakan oleh manusia, bahkan ada yang dinodai oleh sekumpulan pendapat yang tidak mencerminkan keyakinan yang hak. Oleh sebab itu, lalu tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.[30]
يأيها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا ... (سورة التحريم : 6)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka “.[31]
Lembaga pendidikan merupakan salah satu institusi harapan masyarakat, begitu pula keluarga. Keluarga merupakan pencetak dan pembentuk generasi-generasi bangsa dan agama. Generasi yang memiliki otak yang handal dan moral atau etika yang berkualitas. Secara ideal, pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia dalam menacapai kesempurnaan hidup, baik yang berhubungan dengan manusia, terlebih lagi dengan sang Pencipta.[32]
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi pembentukan ketauhidan anak. Orangtua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dalam keluarga, sehingga setiap orang wajib memiliki tauhid yang baik, sehingga dapat membekali anak-anaknya dengan ketauhidan dan materi-materi yang mendukungnya, disamping anak dapat melihat orang tuanya sebagai tauladan yang memberikan pengetahuan sekaligus pengalaman, dan pengarahan
Jika latihan-latihan dan bimbingan agama terhadap anak dilalaikan orang tua atau dilakukan dengan kaku dan tidak sesuai, maka setelah dewasa ia akan cenderung kepada atheis bahkan kurang perduli dan kurang membutuhkan agama, karena ia tidak dapat merasakan apa fungsi agama dalam hidupnya. Namun sebaliknya jika pendidikan tentang Tuhan diperkenalkan sejak kecil, maka setelah dewasa akan semakin dirasakan kebutuhannya terhadap agama.[33]
Anak adalah amanat Allah kepada para orang tua. Amanat adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang yang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban. Firman Allah :
يأيها الذ ين امنوا لاتخونواالله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
(سورة الانفال : 27)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati manat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. [34]
Anak merupakan salah satu bagian dalam keluarga, sehingga secara kodrati tanggung jawab pendidikan tauhid berada di tangan orang tua. Kecenderungan anak kepada orang tua sangat tinggi, Apa yang ia lihat, dengar dari orang tuanya akan menjadi informasi belajar baginya.
Sehingga hanya dengan keluarga-keluarga yang memegang prinsip akidah ketauhidan, dapat melahirkan generasi-generasi berkepribadian Islam sejati, yang menjadikan Allah SWT sebagai awal dan tujuan akhir segala aktivitas lahir dan batin kehidupannya.
C. Rumusan Masalah
Dari latar Belakang masalah yang telah diuraikan, penulis ingin mengetahui beberapa hal dari hasil penelitian ini yakni :
1. Bagaimana urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga ?
2. Bagaimana konsep pendidikan tauhid dalam keluarga?
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga
2. Mengetahui konsep pendidikan tauhid dalam keluarga.
3. Mengetahui metode dan materi pendidikan tauhid dalam keluarga.
Kegunaan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai :
1. Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan sumbangan pemikiran tentang pendidikan tauhid dalam keluarga, khususnya di lingkungan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Sebagai informasi bagi setiap orang tua keluarga bagaimana memberikan pendidikan tauhid dan materi yang disampaikan kepada anak-anak mereka.
3. Pola dalam membentuk masyarakat yang bertauhid sebagai modal untuk membangun bangsa, serta sebagai solusi alternatif terhadap masalah yang dihadapi bangsa.
4. Bagi penulis agar menambah wawasan tentang konsep pendidikan tauhid, sebagai modal untuk berkeluarga nantinya.
E. Alasan Pemilihan Judul.
Didasarkan karya ilmiah dan wacana pendidikan Islam, frame”Konsep pendidikan Tauhid Dalam Keluarga perspektif pendidikan Islam” , belum ada yang menulis secara khusus. .Dengan beberapa point alasan, mengapa judul-tema tersebut diangkat :
1. Pendidikan Tauhid merupakan landasan utama seorang muslim, identitasnya ditentukan oleh ketauhidannya yang benar, dia adalah sebuah pondasi bangunan, kuat tidaknya bangunan ditentukan oleh “pondasinya”, ia adalah akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya;kuat rapuhnya akar sang pohon. Sehingga “Tauhid” menjadikan seorang muslim hanya tunduk, patuh pasrah kepada Allah. Pengakuan tersebut harus dicerminkan dengan keyakinan teguh dalam hati sampai akhir hayat, juga diucapkan secara lisaniyah, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.
2. Begitu pun kajian tentang pendidikan tauhid dalam keluarga secara praktis belum banyak dikembangkan, meskipun banyak dikaji dan dibahas oleh para tokoh pendidikan muslim, di era informasi ini, media memberikan semua informasi yang diinginkan termasuk informasi hal-hal gaib dan mistis.Oleh sebab itu bagaimana orang tua menjadi sumber informasi utama dan pokok bagi anak-anaknya diantaranya yang paling penting informasi tentang ketauhidan.
3. Karena anak lahir dan hidup pertama sekali dalam keluarga, ia belajar dari orang tuanya, begitu pula informasi terbaik bahkan terburuk, informasi yang benar bahkan yang salah diterima pertama kali dalam keluarga. Begitupun informasi ketauhidan yang ia peroleh dari orang tua, harus lebih ia percayai dari pada dari hasil ia menonton tv ataupun media lainnya.
F. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/tesis/disertasi diperpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa yang membahas tentang pendidikan tauhid dalam keluarga belum penulis temukan secara khusus, namun ada beberapa skripsi yang menulis tentang pendidikan keimanan. Namun yang menggunakan istilah pendidikan tauhid hanya ada sebuah skripsi saudari Hartani ( 1999), Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), yang berjudul “Pendidikan Tauhid Pada Usia Remaja” ,saudari Hartani hanya sedikit menjelaskan tentang pendidikan tauhid bagi anak remaja dalam keluarga. Dijelaskan bahwa perkembangan keberagamaan diusia remaja menuntut orang tua harus mampu menjadi teman bagi anak-anak mereka, karena pada usia tersebut remaja memerlukan teman – sahabat yang bisa ia ajak bicara, maka jika orang tua tidak mampu menjadi sosok seorang teman-sahabat bagi anaknya diusia remaja, sangat sulit untuk membimbing, juga memberikan informasi tentang “ketauhidan”.
Skripsi saudara Hunainin (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul “ Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam (Tujuan , Materi, Dan Metode)”. Dia menjelaskan bahwa pendidikan keimanan bagi anak bertujuan untuk membentuk anak yang bertanggungjawab, jujur, dan terhindar dari sifat-sifat kebinatangan. Tanggugjawab ini dipikul oleh orang tua, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Selanjutnya skripsi saudara Silahuddin (1998) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul “Pendidikan Keimanan Pada Usia Anak (Tinjauan Psikologis)”. Dia menyimpulkan bahwa pendidikan keimanan pada usia anak yakni usia 0-12 tahun, metode yang paling baik adalah dengan metode keteladanan. Hal ini disebabakan oleh pertumbuhan psikomotor anak dan perkembangan anak. Dia menekankan kepada asma-asma Allah sebagai materinya, dengan harapan anak dapat meresapi dan mengamalkannya di kehidupannya di masa yang akan datang.
Selain itu ada beberapa skripsi yang membahas tentang pendidikan anak dalam keluarga salah satunya skripsi milik saudari Anik Suryani Latifah (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam, berjudul “Pendidikan Keluarga Membentuk Anak Shaleh Yang Cerdas Dan Kreatif”, ada satu paragraf yang sekilas menjelaskan pendidikan tauhid dalam keluarga bagi anak.Keteladanan nampak ditonjolkan sebagai metode orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.
Skripsi saudari Bahisatul Badiyah (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “Mendidik Anak Dalam Keluarga Menurut Pendidikan Islam”, dijelaskan dalam skripsinya bahwa agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa kecil;sehingga orang tua harus menanamkan dasar keimanan yang bersih dan membiasakan dengan ibadah. Dimulai dengan menanamkan kalimat La Ilaha illa Allah, sebagai kalimat tauhid yang pertama sekali didengar anak melalui adzan yang diucapkan sang ayahnya.Berpijak pada QS. Luqman ayat 13 bahwa tugas awal adalah menanamkan pendidikan tauhid keimanan kepada Allah SWT.
Selanjutnya ada skripsi saudari Umi Sa’adah (1998) “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Telaah kitab Sahih Bukhari” Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, mengungkapkan bahwa keluarga adalah pendidikan pendahuluan dan memparsiapkan anak untuk lembaga sekolah dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kualitas keluarga yakni dalam memilih calon isteri maupun suami menjadikan agama sebagai prioritas utama. Begitu juga dalam mengisi pertumbuhan awal anak diprioritaskan kepada pendidikan agama, salah satu pokoknya ialah pendidikan iman atau aqidah.
Kemudian skripsi berjudul “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Studi atas pemikiran KH. Abdurrahman Ar-Roisi” yang ditulis oleh Umar Faruq (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam sedikit menyinggung tentang keluarga idaman disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam keluarga adalah menciptakan keluarga idaman yakni bahagia lahir-batin, dunia dan akhirat. Sebagai langkah awalnya ialah pendidikan pembentukan keyakinan kepada Allah yang dapat diharapkan melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak.
Skripsi saudara Setiyo Budiono (1999) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “ Pendidikan Keluarga Dalam Islam : Suatu Kajian Teoritis”. Menjadikan anak sebagai pusat pembahasannya (children centereted), dibahas sekilas tentang pendidikan tauhid karena salah satu fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan (education).
Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsi-skripsi di atas, karena lebih difokuskan kepada konsep pendidikan tauhid dalam keluarga untuk anak. yang akan membahas tentang urgensi, metode serta materinya secara eksplisit.
G. Kerangka Teoritik
Kepercayaan atau keyakinan akan yang gaib merupakan pokok kepercayaan keagamaan bagi setiap agama yang berdasarkan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan indera mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha mengetahui (Al An’am :103),
لاتدركه الابصار وهو يدرك الابصار وهو اللطيف الخبير (سورة الانعام :103)[35]
Sehingga dikatakan bahwa sesunggguhnya ciri khas kepercayaan beragama adalah mempercayai semua hal yang metafisik atau gaib.[36]
Beriman kepada hal-hal yang gaib bagi kaum muslimin bukanlah sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum akal, tapi merupakan suatu hal yang melampaui ruang lingkup indera dan alam nyata. Logikapun membenarkan pengambilan dalil atau bukti dari sesuatu yang konkret ataupun nyata sebagai bukti adanya yang gaib.Keterkaitan antara yang nyata dengan yang gaib, yang saling mendukung eksistensi Atau dari yang suatu yang ada diluar jangkauan indera. Demikian Al Quran menetapkan dalil tentang ciptaan Allah yang konkret sebagai tanda adanya sang pencipta, yang merupakan zat yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.[37]
Tunduk kepada kemampuan khayalan dan mengikatkan diri semata-mata pada kecenderungan akal, ditambah lagi ketidaktahuan terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui, adalah jalan menuju kesesatan. Akal tidak dapat menjadi pegangan pokok dalam meyakini sebuah kebenaran.Kekeliruan persepsi, karena mengutamakan akal tanpa diringi bimbingan wahyu akan menyebabkan rusaknya akidah.[38]
Diturunkannya akidah Islam yang komprehensif, memenuhi tuntutan emosi dan rasio, mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya, karena akal memiliki batas-batas dan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, lalu menyinari jalan yang dilaluinya. Karena itu, barang siapa mengikuti apa yang diajarkan oleh wahyu Allah SWT, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian beriman kepada segala sesuatu yang disampaikan oleh Al Quran, berarti ia telah memperoleh petunjuk, dilindungi dan dipenuhi segala kebutuhannya.Dan barangsiapa menyimpang dari ajaran wahyu-Nya, berarti ia telah disesatkan setan : Barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidaklah dia mempunyai cahaya (petunjuk) sedikitpun (QS. An-Nur :40).[39]
...ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور (سورة النور :40)[40]
Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, maka sudah seharusnya bila pendidikan Islam menetapkan tauhid ini menjadi pondasi yang pertama. Artinya, pendidikan Islam tidak boleh bertentangan dengan konsep ketauhidan dan harus menumbuhkan serta memperkuat pertumbuhannya secara positif.[41]
Saat ini manusia telah dapat mengetahui banyak hal yang dahulu hanya diketahui melalui akal. Dengan ilmunya yang yang melahirkan alat-alat yang sangat canggih, manusia telah mampu mengetahui bentuk fisik hal-hal tersebut setelah melalui berbagai penelitian dan dengan menggunakan alat-alat tertentu, walaupun benda-benda tersebut tidak dapat dilihat dengan hanya menggunakan mata telanjang tanpa bantuan alat-alat canggih yang mampu menambah jangkauan penglihatan mata yang tadinya terbatas.[42]
Manusia percaya sepenuhnya terhadap keberadaan hal-hal tersebut tanpa mempertanyakan lagi wujud fisiknya. Manusia hanya mengetahui aktifitas yang dihasilkan dari gerakan dan keberadaan benda-benda tersebut. Hal ini merupakan suatu bukti bahwasannya Allah SWT telah menciptakan banyak hal yang tidak kasat mata, yang esensinya tidak mampu dijangkau oleh akal.[43]
Kitab Al Quran telah mengikrarkan bahwa tauhid adalah akidah universal (syamil). Maksudnya, akidah yang yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan dan tidak mengotak-ngotakkannya. Seluruh aspek dalam hidup manusia hanya dipandu oleh hanya satu kekuatan, yaitu tauhid. Konsekuensinya ialah penyerahan (Islamisasi) manusia secara total – mulai dari kalbu, wajah, akal pikiran, qaul (ucapan), hingga amal – kepada Allah semata-mata.[44]
Tauhid, hakekat dan maknanya terdiri dari tiga kriteria yang talazum (simbiosis mutualisme), satu sama lain tidak dapat terpisahkan. Ketiga kriteria tersebut adalah : 1.Tauhid Rububiyah, 2.Tauhid Uluhiyah, 3.Tauhid al-Hakimiyyah.
1. Tauhid Rububiyah
Yang dimaksud dengan Rububiyah di sini adalah melekatkan semua sifat-sifat ta’tsir (yang mengandung unsur dominasi atau pengaruh) pada Allah SWT, umpamanya sifat Pencipta, Pemberi rezeki, Pengatur alam, Yang menghidupkan, mematikan, Pemberi petunjuk, dan sebagainya.
Maka Allah Ta’ala adalah Robb, Penguasa seluruh alam, tak ada Tuhan selain Dia. Dialah Pencipta, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang menetapkan seluruh aturan dan hukum atas semua makhluk-Nya. Di tangan-Nya terletak kerajaan dan kekuasaan mutlak. Bertindak di alam ini sebagaimana keinginan-Nya, tanpa ada yang bisa menghalangi dan menghambat-Nya. Hanya Dia yang mampu memberikan manfaat/keuntungan dan mendatangkan mudharat.[45]
2. Tauhid Uluhiyah
Maksudnya bahwa hanya Allah SWT semata-mata yang berhak diperlakukan sebagai tempat khudhu’ (tunduk/merendah) oleh hambaNya dalam beribadah dan taat.Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi secara mutlak selain Allah SWT. Semua manusia adalah hamba Allah. Hamba yang betul-betul berlaku dan berpenampilan sebagai hamba. Bukan hamba yang berlagak sebagai “raja”. Manusia tidak berhak memperbudak manusia lainnya, dengan alasan apapun. Seluruh penguasa di muka bumi harus tunduk kepada penguasa tunggal:Allah SWT.[46]
3. Tauhid al-Hakimiyyah.
pembahasan konsep tauhid ini, yaitu Tauhid al-Hakimiyyah. Konsep ini mungkin sudah terkandung dalam pengertian “Uluhiyah”, tapi masih bersifat global. Pemisahan ini bertujuan agar lebih menonjolkan kehakimiyahan Allah secara tersendiri.Makna al-Hakimiyyah ialah hanya Allah-lah yang berhak membuat ketentuan, peraturan, dan hukum.[47]
Islam takkan ada tanpa tauhid, bukan hanya Sunnah Nabi kita jadi patut diragukan dan perintah-perintahnya bergoncang-goncang kedudukannya; pranata kenabian itu sendiri akan hancur tanpa tauhid.[48]
Ismail Raji al Faruqi mengatakan bahwa berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan dasar dari seluruh bentuk kesalehan.Wajarlah jika Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya menjadi penyebab kebaikan dan balasan pahala terbesar bagi seorang muslim yang bertauhid.[49]
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, disebutkan bahwa para ulama membagi tauhid kepada dua ketegori : tauhid Rububiyah dan tauhid Ubudiyah. Kebanyakan umat yang sudah menyimpang dari tauhid itu , masih memiliki tauhid rububiyah, karena mereka sebenarnya masih mengakui dan meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan dan memelihara segenap alam semesta ini, kesalahan mereka adalah karena mereka tidak legi berpegang teguh kepada tauhid ubudiyah.Inilah tauhid yang menghendaki ubudiyah atau ketaatan tanpa syarat hanya tertuju kepada Allah SWT.[50]
Ruang lingkup pembahasan tauhid ada empat yakni [51]:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan) seperti wujud, nama-nama,sifat, dan af’al Allah.
2. Nubuwat. Yakni pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, juga termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, dan Syaitan,
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, surga dan neraka.
Keyakinan seorang muslim akan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa (Allah) melahirkan keyakinan bahwa sesuatu yang ada di alam ini ciptaan Tuhan;semuanya akan kembali kepada-Nya, dan segala sesuatu berada dalam urusan Yang Maha Esa itu. Dengan demikian segala perbuatan, sikap, tingkah laku, atau perkataan seseorang selalu berpokok dalam modus ini.[52]
Tauhid tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan,bermanfaat bagi kehidupan umat manusia., tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup.[53]
Lingkungan rumah dan pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya dapat membentuk atau merusak masa depan anak.Oleh sebab itu masa depan anak sangat tergantung kepada pendidikan , pengajaran, dan lingkungan yang diciptakan oleh orang tuanya.. Apabila orang tua mampu menciptakan rumah menjadi lingkungan yang Islami, maka anak akan memiliki kecenderungan kepada agama.[54]
DR. M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa kehidupan keluarga, apabila diibaratkan sebagai satu bangunan, demi terpelihara dari hantaman badai, topan dan goncangan yang dapat meruntuhkannya, memerlukan fondasi yang kuat dan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ayah dan ibu. Beliau menambahkan bahwa keluarga merupakan sekolah tempat putra-putri bangsa belajar.[55]
Pendidikan anak yang paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lain adalah keluarga sebagai pusatnya, karena seorang anak masuk Islam sejak awal kehidupannya, dan dalam keluargalah ditanamkan benih-benih pendidikan.Juga waktu yang dihabiskan seorang anak di rumah lebih banyak dibandingkan tempat lain, dan kedua orang tua merupakan figur yang paling berpengaruh terhadap anak, demikianlah pendapat Muhammad Quthub yang dikutip oleh Khatib Ahmad Santhut.[56]
Al Ghazali mengatakan bahwa mendidik keimanan anak harus dengan cara yang halus dan lemah lembut, bukan dengan paksaan atau dengan berdebat, sehingga dengan metode yang lemah lembut materi pendidikan dapat dengan mudah diterima oleh anak.[57]
Dalam adigum ushuliyah disebutkan al-Amru bi asy-syai’i amru biwasailihi, walil-wasaili hukmu al-maqoshidi , maksudnya ialah “perintah pada sesuatu (termasuk pendidikan) maka perintah pula mencari metodenya, dan bagi metodenya hukumnya sama dengan apa yang dituju.Senada dengan hal ini ada firman Allah yang berbunyi :
Sehingga dalam proses pelaksanaannya, pendidikan Islam memerlukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi-materi kepada anak, sehingga tujuan pendidikan yang diinginkan dapat dicapai.[59]
Ada beberapa metode yang besar pengaruhnya untuk menanamkan keimanan kepada anak yakni :
1. Teladan yang baik;
2. Kebiasaan yang baik;
3. Disiplin, hal ini sebenarnya sebagaian dari pembiasaan;
4. Memotivasi;
5. Memberikan hadiah terutama yang dapat menyentuh aspek psikologis;
6. Memberikan hukuman dalam rangka kedisiplinan;
7. Suasana kondusif dalam mendidik.[60]
Menyusun sebuah metode harus mencakup tiga hal penting antara lain :
1. Cara tersebut bertujuan untuk menjelaskan materi kepada anak didik.
2. Cara tersebut merupakan cara yang tepat untuk menjelaskan, dan dipakai untuk materi tertentu serta situasi tertentu pula.
3. Cara tersebut mampu memberikan kesan yang mendalam kepada anak didik.[61]
Menurut Abdullah Nashih Ulwan metode yang paling efektif dalam mendidik anak adalah :
1. Pendidikan dengan keteladanan.
2. Pendidikan dengan adat dan kebiasaan.
3. Pendidikan dengan nasehat.
4. Pendidikan dengan perhatian.
5. Pendidikan dengan memberikan hukuman.[62]
Sementara Muhammad Zein menjelaskan bahwa metode yang mudah dilakukan para orang tua dalam mendidik anak-anaknya ada tiga yakni :
1. Meniru.
2. Menghafal.
3. Membiasakan.[63]
Mendidik anak pada periode pertama yakni usia 0-6 tahun, merupakan masa yang sangat penting. Karena semua informasi mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam membentuk kepribadian anak. Anak akan merekam informasi apapun pada periode ini, sehingga pengaruhnya akan lebih nyata pada kepribadiannya setelah dewasa. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan para orang tua pada periode ini antara lain :
1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan oleh anak.
2. Membiasakan anak untuk disiplin.
3. Orang tua mampu menjadi teladan yang baik bagi anak.
4. Membiasakan etika umum yang baik.[64]
Periode selanjutnya ketika anak berusia 7-12 tahun. Anak pada periode ini lebih siap untuk belajar. Anak mau meniru dan mendengarkan nasehat, meskipun anak lebih mudah menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Semangatnya sangat tinggi untuk belajar keterampilan tertentu. Masa ini sangat baik untuk mendidik dan mengarahkan anak sesuai dengan minat dan bakat yang ia miliki.Pada periode ini anak dapat diajarkan beberapa hal, antara lain :
1. Pengenalan kepada Allah dengan cara sederhana, juga diajarkan
a. Allah Esa tidak ada sekutu.
b. Allah adalah pencipta alam semesta.
c. Cinta kepada Allah.
2. Mengajarkan sebagain hukum yang jelas, juga tentang halal dan haram.
3. Mengajarkan baca Al Quran.
4. Mengajarkan hak dan kewajiban sebagai hamba Allah.
5. Mengenalkan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.
6. Mengajarkan etika umum.
7. Meningkatkan sikap percaya diri anak dan juga tanggungjawab.[65]
Pendidikan Islam memberikan ketentuan bahwa rentang usia peserta didik ialah sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Manusia sejak lahir memerlukan pendidikan , selanjutnya pendidikan tersebut tetap diperlukan sepanjang hidunya sebagai sebuah proses.[66]
Pendidikan Islam menggunakan konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education). Sehingga manusia dalam rentang kehidupannya selalu memerlukan pendidikan, dengan bimbingan, pembentukan, pengarahan, dan pengalaman. Semua itu dilakukan secara bertahap dan berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan pada perkembangan usianya[67], begitu pun pada pendidikan tauhidnya.
Penyusun dalam konsep pendidikan tauhid dalam keluarga menggunakan 5 metode yaitu :
1. Kalimat tauhid.
2. Keteladanan.
3. Pembiasaan.
4. Nasehat.
5. Pengawasan.
H. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu penelahaan terhadap buku-buku, karya ilmiah, karya populer., dan literatur lain yang berhubungan dengan tema yang diteliti.
2. Sumber Data
Penulis mengumpulkan data dari berbagai literatur sebagai sumber primer ialah buku “ Islam Dalam Berbagai Dimensi” karangan Dr. Daud Rasyid, MA., kemudian “Kuliah Akidah Islam” karangan Drs. Yunahar Ilyas, Lc.,Sri Harini dan Aba Firdaus al Halwany “ Mendidik Anak Sejak dini”,. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi “ Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar Dan Firman”,Abdullah Nashih Ulwan “Pendidikan Anak Menurut Islam : Kaidah Kidah Dasar”, .Juga literatur-literatur sebagai sumber data sekunder, yakni data-data lain yang penulis peroleh baik dari buku-buku, artikel, yang ada hubungannya langsung atau tidak langsung dengan materi pembahasan yang penulis teliti.Buku-buku tersebut antara lain : Prof. H.M. Arifin, M.Ed (1996) Ilmu Pendidikan Islam, H. Abu Tauhid (1990) Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Maulana Musa Ahmad Olgar (2000, terjm: Supriyanto Abdullah Hidayat) Mendidik Anak Secara Islami.Ma’ruf Zurayk (1994) Aku Dan Anak-anakku : Bimbingan Praktis Mendidik Anak menuju Remaja. dan buku-buku lain yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini
3. Analisa Data
Selanjutnya dalam menganalisis data yang telah terkumpul menggunakan teknik deskriftif analitik, yaitu teknik analisa data yang menggunakan, menafsirkan serta mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada masalah yang diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data, dan menginterpretasi data dengan metode berpikir :
a. Deduktif : merupakan tehnik berpikir yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum , dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang sifatnya khusus.[68]
b. Induktif : ialah berpikir dengan berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.[69]
I. Sistematika Pembahasan
Penulis membagi penelitian ini menjadi beberapa bab yang terangkum dalam sitematika pembahasan berikut ini :
Bab kesatu : merupakan pendahuluan, berisikan pendahuluan menjelaskan tentang penegasan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, alasan pemilihan judul, kerangka teoritik, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua : akan dibahas tentang urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga, meliputi pengertian, tujuan, dasar dan sumbernya.
Bab ketiga : diuraikan tentang pendidikan tauhid dalam keluarga materinya adalah ilahiyat, mubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyat, dalam penyampaian materi ini digunakan lima metode yakni kalimat tauhid, keteladanan, pembiasaan, nasehat, dan metode pengawasan.
Bab keempat : berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran yang merupakan intisari terhadap konsep yang ditawarkan dalam penulisan ini sebagai harapan penulis.
BAB II
URGENSI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KELUARGA
A. Pengertian Pendidikan Tauhid dalam keluarga
B. Dasar Dan Tujuan Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga
Al-Quranul Karim , Sunnah Nabi Muhammad saw, serta penalaran serta perenungan yang sehat terhadapnya merupakan asas atau sumber pokok akidah islamiyah, demikian penjelasan Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud.[99]
Karena membicarakan dasar pendidikan Islam berarti membicarakan dasar syari’at Islam yakni Al Quran dan Sunnah Nabi.[100]
Dasar-dasar pendidikan tauhid dalam keluarga dalam Al Quran antara lain :
1. Surat At Tahrim ayat 6 :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.
2. Surat Luqman ayat 13 :
واذ قال لقمن لابنه وهو يعظه يبني لاتشرك بالله ان الشرك لظلم عظيم
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.
3. Surat Al Baqarah ayat 132-133 :
ووصى بها ابراهيم بنيه ويعقوب يبني ان الله اصطفى لكم الدين فلا تموتن
الا وانتم مسلمون , ام كنتم شهداء اذ حضر يعقوب الموت اذ قال لبنيه
ماتعبدون من بعدي قالوا نعبد الهك واله أبائك ابراهيم واسمعيل واسحق
الها واحدا ونحن له مسلمون (سورة البقرة : 132-133)[103]
Artinya : Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata) :” Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya : “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”. Mereka menajwab : “ Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Sedangkan landasannya dari hadis antara lain sabda Nabi :
مامن مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
Artinya : Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan menetapi fitroh, Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.(HR. Bukhori).
Setelah mengetahui dasar pendidikan tauhid dalam keluarga, dapat kita lihat bahwa Al Quran dan Al Hadit ternyata memberikan statemen yang jelas dan tegas tentang pendidikan perlunya pendidikan tauhid dalam keluarga.
Selanjutnya ialah tentang tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga. Membicarakan tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam karena pendidikan tauhid dalam keluarga bagian dari pendidikan Islam itu sendiri. Oleh sebab itu sebelum kita membicarakan tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga kita perlu mengetahui tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu.
Tujuan pendidikan Islam akan terlihat jelas jika kita melihat defenisinya kembali. Tujuan adalah salah satu faktor yang harus ada dalam setiap kegiatan begitu pun dalam kegiatan pendidikan, termasuk aktivitas pendidikan Islam.Tentunya tujuan tersebut terwujud setelah seseorang mengalami proses pendidikan Islam secara keseluruhan.[105]
Sayid Sabiq, menurutnya tujuan pendidikan Islam ialah untuk menyiapkan manusia yang bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan Muhammad Athiyah Al Abrosyi memiliki konsep yang berbeda yakni mempersiapkan individu agar dapat hidup dalam kehidupan yang sempurna sebagai sosok yang berkepribadian “al-fadhilah” atau “insan kamil”.An war jundi, memiliki bahasa konsep yang lain, menurutnya tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim.[106]
Prof.Dr. H.M. Mahmud Yunus menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam bidang keimanan ialah :
1. Agar memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat, hari akhir, dan lain sebagainya.
2. Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran dan ilmu pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata.
3. Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-orang yang beriman.[107]
Menurut Al Ghazali tujuan pendidikan keimanan adalah agar anak didik menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya. Melatih diri untuk mendekatkan diri (bertakarrub) kepada Allah, membentuk kepribadian yang sempurna dengan bimbingan taufik serta nur ilahi agar terbuka jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.[108]
Menurut Abdullah Nashih Ulwan tujuan pendidikan keimanan adalah agar anak mempunyai tanggungjawab, jujur, jiwa kemanusiaan yang tinggi, berakhlak mulia, dan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan.[109]
Menurut M. Saleh tujuan pendidikan ketauhidan adalah :
1. Menanamkan rasa cinta kepada Allah.
2. Bersyukur kepada Allah.
3. Mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah.
4. Mencintai para Rasul-Nya.
5. Meyakini hal-hal gaib.[110]
Abdurrahman An-Nahlawi merumuskan tujuan pendidikan ketauhidan agar :
1. Ikhlas beribadah kepada Allah.
2. Mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah.
3. Menjauhi yang dilarang Allah, seperti syirik dan segala hal yang dapat mengalihkan ketauhidan dan mengaburkan tujuan pendidikan.[111]
Konsep pendidikan tauhid dalam keluarga dalam skripsi ini bertujuan :
1. Agar menanamkan kesadaran kepada anak untuk bersyahadat berdasarkan dorongan dalam dirinya sendiri.
2. Pembentukan sikap muslim yang beriman dan bertakwa.
3. Agar anak mengetahui makna dan tujuan beribadah kepada Allah.
4. Mengarahkan perkembangan keagamaan anak.
5. Agar anak selalu berpikirdan berperilaku positif
C. Fungsi Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga
Fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah tujuan, sehingga kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dalam keluarga dengan menganalisis tujuan dari pendidikan tauhid dalam keluarga. Yusron Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi
untuk :
- Memberikan ketentraman dalam hati anak.
- Menyelamatkan anak dari dari kesesatan dan kemusyrikan.
- Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga menjadi falsafah dalam kehidupannya.[112]
Dari penjelasan yang diuraikan oleh Abdurrahman An-Nahlawi, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga memiliki beberapa fungsi agar :
- Anak dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas.
- Anak dapat mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah.
- Anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.[113]
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan tauhid. Dengan menanamkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam perlindungan dan kekuasaan Allah yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang panjang anak akan selalu mengingat Allah SWT. Allah berfirman :
Artinya : “… Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
Pendidikan tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu memiliki keimanan berdasarkan kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak tidak hanya mengikuti saja atau “taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits, maka ketauhidan yang terbentuk dalam jiwa anak disertai dengan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada argumen-argumen dan bukti-bukti yang benar, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim. Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif baik ketika sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketuhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah SWT.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh para orang tua, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang benar, dan bertakwa kepada Allah SWT, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang positif. Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah SWT, bukan mencari sesuatu yang bersifat duniawi.
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID DALAM KELUARGA
A. Materi Pendidikan Tauhid dalam Keluarga
Menurut ulama salafiyah, pembahasan materi ketauhidan terbagi menjadi dua bagian yakni tentang tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah.[115] Dari kedua ketauhidan tersebut melahirkan ketauhidan ketiga yakni tauhid Ubudiyah.[116] Menurut Abdullah Nashih Ulwan anak harus diajarkan ketauhidan sejak dini, sejak anak mulai dapat memahami lingkungannya. Ketauhidan yang dimaksud ialah meliputi dasar-dasar ketauhidan merupakan segala sesuatu yang ditetapkan dengan jalan berita (khabar) yang diperoleh secara benar, berupa hakekat ketauhidan, masalah-masalah gaib, beriman kepada Malaikat, Kitab-kitab samawi, Nabi dan Rasul Allah, sikasa kubur, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib.[117]
Al Ghazali menjelaskan bahwa pembinaan ketauhidan diperlukan 4 hal pokok yakni :
- Makrifat kepada dzat-Nya.
- Makrifat kepada sifat-sifat-Nya.
- Makrifat kepada af’al-Nya.
- Makrifat kepada syari’at-Nya.[118]
Jika kita menggunakan pengertian yang sama antara ketauhidan, akidah, dengan keimanan, maka materi ketauhidan sama dengan materi keimanan. Konsep yang penyusun gunakan ialah konsep Yunahar Ilyas yang membagi materi ketauhidan menjadi empat, selain beliau juga membagi ruang lingkup ketauhidan kepada rukun iman, yang memiliki 6 unsur.[119]
Materi pendidikan tauhid dalam keluarga terbagi menjadi empat yakni
1. Ilahiyat
2. Nubuwat
3. Ruhaniyat
4. Sam’iyyat
Berikut ini adalah penjelasan keempat materi di atas :
1. Ilahiyat
Pembahasan materi ini dibagi menjadi tiga hal yakni :
a. Zat Allah SWT.
Tauhid zat berarti bahwa zat Allah Swt ialah satu, tidak ada sekutu dalam wujud-Nya, tidak ada kemajemukan, serta tidak ada tuhan lain di luar Diri-Nya. Bersifat sederhana, tidak terdiri dari bagian-bagian ataupun organ-organ, intinya Allah adalah satu dan tidak ada sekutu baginya, demikianlah pandangan para teolog dan filosof tentang tauhid zat Allah Swt.[120]
Muhammad Taqi Mishbah Yadzi menjelaskan bahwa tauhid zat maerupakan tauhid tahap terakhir yang hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang arif. Dijelaskannya bahwa pada tahap ini mereka mempercayai bahwa yang hakiki terbatas pada Allah Swt. Saja. Alam adalah manifestasi dan cerminan dari Wujud-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. Adalah Zat yang bersifat nonmateri (immaterial).[121]
Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi bahwa kebenaran mutlak (absolut) tentang Zat Allah tidak memerlukan bukti, namun yang harus dipercaya adanya Zat-Nya itu mempunyai bekas-bekas, akibat-akibat, gejala-gejala yang dapat memperkuat bukti kebenaran adanya Zat-Nya itu. Sehingga adanya Tuhan adanya kebenaran mutlak yag tidak perlu dibuktikan adanya Zat Tuhan, kehati-hatian ini dilandaskana atas satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :
تفكروا في خلق الله ولاتفكروا في الله فانكم لن تقدروا قدراه (الحديث )
Artinya : Pikirkanlah tentang ciptaan/makhuk Allah, dan janganlah kamu memikirkan tentang Allah (zatnya), karena sesungguhnya kamu tidak sekali-kali akan mampu mencapai-Nya. (Hadis).[122]
Akal manusia tidak akan mampu menjangkau Zat Allah disebabkan oleh keterbatasannya. Oleh sebab itu kita tidak boleh memikirkan Zat Allah , tetapi marilah memikirkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya.[123]
b. Nama-nama Allah SWT.
Rasululullah saw. Bersabda :
لله تسعة وتسعون اسما مائة الا واحدا لايحفظها احد الا دخل الجنة,
وهو وتر يحب الوتر.
Artinya : Allah memiliki 99 nama, yakni seratus kurang satu. Tiada seseorangpun yang menghafalnya (dengan menghayati dan merenungkan kandungannya) melainkan akan masuk surga. Dan Dia itu ganjil (Maha Esa) menyukai yang ganjil.[124]
Nama-nama Allah yang sesuai dengan keagungan keluhuran-Nya Ia gunakan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk.Selain 99 nama Allah, juga terdapat nama-nama lain yang tersebut dalam hadis Rasul saw. Seperti al-Hannan (yang Maha Pengasih), al-Mannan (Yang memberi nikmat), al-Kafiil ( Yang Maha Pelindung/Penjamin), Dzu ath-Thaul (Yang Memiliki Keutamaan), Dzu al-Ma’arij (Yang memiliki Jalan-jalan Naik), Dzu al-Fadhl (Yang Memiliki Karunia), al-Khallaq (Yang Maha Pencipta).Nama-nama Allah haruslah merujuk kepada Syara’. Dari seluruh nama-nama itu yang merupakan lambang ketuhanan ialah”Allah”.
c. Sifat-sifat Allah
Menurut para teolog dan filosof, tauhid sifat-sifat Allah berarti kita menisbatkan sifat-sifat kepada Allah Swt. tak lain adalah Zat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu bukan sesuatu yang ditambahkan atau hal-hal yang lain dari Diri-Nya. Mereka mengungkapkan bahwa Sifat-Sifat Tuhan tak lain adalah Zat Allah Swt. itu sendiri, mereka menyebutnya sebagai “Tauhid dalam sifat”. Karena Allah tidak memiliki sifat-sifat diluar Diri-Nya.[125]
Sedangkan menurut Sang arif, tauhid sifat merupakan tahap kedua. Pada tahap ini manusia memandang setiap sifat kesempurnaan pada asalnya adalah milik Allah Swt., sedangkan sifat kesempurnaan yang ada pada manusia serta makhluk hanyalah bayangan atau cerminan atau manifestasi dari Sifat-Sifat Tuhan. Bahwa Sifat-Sifat Allah Swt. bukanlah tambahan pada Zat-Nya [126]
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi sangat cenderung kepada tauhid yang dimiliki oleh orang-orang ahli ma’rifat, yang mampu mencapai taraf melihat, merasakan, mendengar yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang awam, mereka malakukan riyadah ibadah untuk membersihkan hati serta jiwa mereka dan benar-benar mendekatkan diri mencari ridho Allah Swt.
Drs. Yunahar, Lc. Menjelaskan bahwa ada dua metode dalam tauhid Nama dan Sifat-Sifat Allah Swt. Pertama Itsbat, yakni mempercayai bahwa Nama dan Sifat yang dimiliki Allah merupakan menunjukkan ke-Maha Sempurnaan Allah Swt.Kedua adalah Nafyu yakni menafikan atau menolak nama serta sifat yang menunjukkan ketidak sempurnaan Allah Swt.Selanjutnya beliau menyebutkan ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan Nama-Nama dan Sifat Allah Swt. antara lain :
1) Nama-Nama Allah hanyalah yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu tidak boleh memberi nama kepada Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
2) Allah tidak bisa disamakan, atau mirip Zat-Nya, sifat-sifat serta perbuatan-Nya dengan makhluk.
3) Percaya Nama dan Sifat Allah Swt. haruslah apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakannya.
4) Selain nama dan sifat-sifat Allah ada istilah ”ismul-lah al-a’zham” yakni nama-nama Allah Swt. yang dirangkai di dalam do’a.[127]
Sifat wajib dan mustahil bagi Allah Swt ada dua puluh sifat yakni[128] :
1) al Wujud artinya ada, sedangkan yang mustahil bagi Allah adalah al ‘Adam yang artinya tdak ada.
2) al Qidam artinya yang tidak ada awal bagi wujud-Nya, lawannya adalah al-Huduts artinya yang ada awalnya.
3) al Baqa artinya kekal atau tidak ada akhir akan wujud-Nya, sedangkan mustahuil Allah bersifat al Fana artinya tidak kekal.
4) Tidak akan pernah sama dengan makhluk maksudnya Allah berbeda dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Sedangkan Allah mustahil bersifat menyerupai atau sama dengan makhluk.
5) Berdiri sendiri, maksudnya Allah Swt. Maha kaya dan tidak memerlukan bantuan siapapun, oleh sebab itu membutuhkan kepada sesuatu makhluk adalah kemustahilan bagi Allah.
6) Esa, maksudnya Allah itu satu, tunggal dan mustahil bagi Allah Berbilang, lebih dari satu.
7) Maha Kuasa, Allah mustahil memiliki sifat lemah.
8) Maha Berkehedak, mustahil Allah bersifat terpaksa.
9) Maha Berilmu, mustahil bagi Allah memiliki sifat bodoh.
10) Maha Hidup, Allah mustahil mati.
11) Maha Mendengar, sehingga mustahil Allah bersifat tuli.
12) Maha Melihat, Allah mustahil bersifat buta.
13) Maha berbicara, mustahil Allah bersifat bisu.
14)Yang Maha Kuasa, mustahil Allah bersifat yang keadaan-Nya lemah.
15)Yang Maha Berkehendak, Allah mustahil keadaan-Nya terpaksa.
16)Yang Maha Berilmu, mustahil Allah dalam keadaan bodoh.
17)Yang Maha Hidup, Allah mustahil keadaan-Nya mati.
18)Yang Maha Mendengar, mustahil keadaan Allah itu tuli.
19)Yang Maha Melihat, sehingga mustahil Allah dalam keadaan buta.
20)Yang Maha Berkata-kata, mustahil Allah dalam keadaan bisu.
Sedangkan sifat jaiz bagi Allah, kita dapat menggunakan penjelasan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi ketika menjelaskan hubungan antara kemampuan dan kehendak Allah Swt. karena sifat Jaiznya Allah berhubungan dengan dua hal tersebut.Jika kita mengatakan Allah dapat melakukan segala sesuatu, yang kita maksudkan jika Allah menghendakinya, Dia akan melakukannya, dan jika tidak , Dia tidak akan melakukannya, dan kemampuannya tidak akan berkurang karenanya. Sebagai contoh ketika Anda memilih berbicara atau tetap diam pada suatu saat, maksudnya anda memiliki kemampuan untuk melakukan keduanya. Jika ingin berbicara maka Anda akan berbicara, dan ketika Anda tidak ingin berbicara maka Anda akan diam. Jadi kekuatan Anda meliputi keduanya. Manakah yang Anda pilih?.Jadi kekuatan atau kemampuannya lebih luas dari kehendak Anda., karena kemampuan meliputi aksi maupun non aksi, sementara kehendak hanya meluiputi salah satu dari keduanya.[129]
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi melanjutkan pembagian tauhid kepada tauhid perbuatan. Bagi para teolog dan filosof tauhid perbuatan berarati dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya Allah tidak memerlukann bantuan siapapun. Jika perbuatan tersebut membutuhkan sarana, Dia menciptakan dan menggunakan sarana tersebut. Hal ini berbeda dengan Allah membutuhkan orang lain di luar Diri-Nya dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan-Nya.[130]
Para kaum arif memiliki konsep yang berbeda dengan para teolog dan filosof. Bagi para teolog dan filosof secara berurutan terlebih dahulu harus memulai tauhid pada Zat Allah, selanjutnya sifat-sifat, terakhir ialah tauhid perbuatan. Namun para kaum arif memulainya dengan tauhid perbuatan, lalu tahap kedua tauhid sifat dan tahap terakhir adalah tauhid Zat. Tauhid perbuatan berarti bahwa, setiap perbuatan yang ada adalah perbuatan Allah, yang lain hanyalah alat-alat dan sarana-sarana, inilah yang dilihat oleh orang-orang yang telah menyucikan jiwanya, yakni para kaum arif.[131]
B. Metode Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga
Metode mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan Islam. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui sebuah metode. Ada sebuah adigum yang berbunyi :
الطريقة اهم من المادة
Bahwa metode itu lebih penting daripada materi. Merupakan sebuah realita bahwa metode penyampaian yang komunikatif akan lebih disenangi meskipun materi yang disampaikan biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan materi yang menarik tetapi metode yang disampaikan dengan tidak menarik maka materi tersebut tidak dapat diterima dengan baik pula oleh peserta didik. Sehingga penggunaan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses mendidik.[172]
Metode berasal dari bahasa Greek atau Yunani “metodos” , selanjutnya kata ini terdiri dari dua suku kata yakni “meta” yang artinya melalui atau melewati dan “hodos” yang memiliki makna jalan atau cara. Sehingga metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[173]
Para ahli pendidikan Islam lebih sering menggunakan kata الطريقة atau الطرق sebagai bentuk jamaknya. Memiliki makna yang sama dengan metode yakni jalan atau cara yang harus ditempuh. Metode merupakan hubungan sebab akibat dengan tujuan pendidikan, sehingga tidak dapat diabaikan. Karena rasul sudah memberikan isyarat dalam salah satu haditsnya :
لكل شيئ طريق وطريقة الجنة العلم (رواه الديلمي)
Artinya : Bagi segala sesuatu itu ada caranya (metodenya) dan metode masuk surga adalah ilmu (HR. Dailami).[174]
Demikian pula dalam menyampaikan pendidikan tauhid dalam keluarga harus pula menggunakan metode atau cara yang dapat dilakukan oleh para orang tua, dan dapat dengan mudah dikondisikan dalam lingkungan keluarga. Sehingga suasana dan lingkungan keluarga yang kondusif akan lebih membantu cara dan tehnik penyampaian pendidikan tauhid bagi anak-anak.
Maka yang dimaksud metode pendidikan tauhid dalam keluarga adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga. Metode-metode yang digunakan untuk pendidikan tauhid dalam keluarga antara lain :
1. Kalimat tauhid
Dikatakan bahwa bayi yang baru lahir pendengarannya sudah berfungsi, sehingga ia akan langsung mengadakan reaksi terhadap suara. Telinga akan segera berfungsi segera setelah ia lahir,meskipun ada perbedaan antara bayi yang satu dengan yang lain. Lebih jauh lagi Wertheimer dapat membuktikan bahwa bayi juga akan memalingkan pandangannya ke arah suara yang ia dengar, setelah 10 menit ia dilahirkan. Gerakan ini disebut sebagai reaksi orientasi. Fungsi auditif bayi akan bereaksi terhadap irama dan lama waktu berlangsungnya.[175]
Maka sangat benarlah metode pendidikan yang diajarkan Rasulullah saw. untuk mengumandangkan adzan dan iqomat kepada bayi yang baru lahir. Adzan dan iqomat merupakan panggilan bagi seorang muslim untuk shalat sujud beribadah mengakui keesaan Allah, bertauhid bahwa Bersaksi Tidak Ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah SWT.
Sehingga suara yang didengar oleh sang bayi adalah suara ketauhidan, telinganya yang akan bereaksi terhadap suara yang berirama, sehingga lembut dan merdunya kumandang adzan dan iqomah dapat dijadikan awal pendidikan untuknya. Inilah metode awal bagi orang tua untuk menanamkan ketauhidan kepada anaknya dengan kalimat yang sempurna kalimat Laa Ilaaha Illallah yang terdapat pada rangkaian adzan dan iqomat.
Sunnah Muakkad hukumnya untuk mengumandangkan azan dan iqomat kepada bayi yang baru lahir. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Hasan bin Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Bagi setiap anak yang dilahirkan hendaknya diserukan suara adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kirinya. Maka ia tidak akan terkena bahaya penyakit”.[176]
Ibnu Qoyyim mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri jika adzan dan iqomah membawa pengaruh dan kesan dalam hati.[177]Mendidik anak dengan kalimat tauhid, yang akan mengikat jiwanya dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak di masa yang akan datang. Sehingga diharapkan kepada setiap orang tua tidak melupakan metode ini ketika anak-anak mereka lahir.
2. Keteladanan
Al Quran sebagai sumber pendidikan Islam, juga pendidikan tauhid dalam keluarga telah memberikan statemen tentang keteladanan sebanyak tiga kali yakni dalam surat Al Mumtahanah ayat 4, ayat 6, dan surat Al Ahzab ayat 21. Ibrahim dan Nabi Muhammad saw dijadikan sebagai profil keteladanan.[178]Keteladanan merupakan sesuatu yang patut untuk ditiru atau dijadikan contoh teladan dalam berbuat, bersikap dan berkepribadian.
Dalam bahasa Arab “keteladanan” berasal dari kata “uswah” yang berarti pengobatan dan perbaikan. Menurut Al Ashfahani al uswah dan al iswah sama dengan kata al qudwah dan al qidwah merupakan sesuatu yang keadaan jika seseoarng mengikuti orang lain, berupa kebaikannya, kejelekannya, atau kemurtadannya. Pendapat ini senada dengan pendapat Ibn Zakaria.[179]
Namun dari ketiga ayat yang dijadikan sumber teori awal tentang keteladanan, al uswah selalu bergandengan dengan kata hasanah. Sehingga keteladanan yang dijadikan contoh ialah dalam hal kebaikan. Jika kita melihat sejarah, maka salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw. adalah ketedanan mereka dalam memberikan pelajaran langsung kepada umatnya. Perkataan dan perbuatan selalu beriringan, bahkan Nabi Muhammad saw. lebih dahulu melakukan suatu perintah sebelum perintah tersebut ia sampaikan kepada kaum muslimin.
Di era yang modern ini, metode keteladanan masih sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, terlebih lagi pendidikan dalam keluarga. Keteladanan akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan pendidikan dalam keluarga, begitu pula dalam hal pendidikan tauhid. Orang tua merupakan contoh tauladan utama sebagai panutan bagi anak-anaknya, memegang teguh ketauhidan dan menjaganya, serta mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dalam keluarga.
Allah telah berfirman :
اتأمرون الناس بالبر وتنسون انفسكم وانتم تتلون الكتب افلا تعقلون
Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakkan diri (kewajiban) sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir (QS. Al Baqarah : 44).
Meskipun demikian metode keteladanan memiliki kelebihan. Di antara kelebihan metode keteladanan adalah :
a. Anak akan lebih mudah menerapkan ilmu yang telah diketahui.
b. Orang tua akan mudah mengevaluasi hasil belajar anaknya.
c. Tujuan pendidikan akan lebih terarah dan tercapai dengan baik.
d. Akan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif.
e. Terjalin hubungan harmonis antara anak dengan orang tua.
f. Orang tua dapat menerapkan pengetahuannya kepada anak.
g. Mendorong orang tua agar selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh anak-anaknya.[181]
Uyainah bin Abi Sufyan pernah berpesan kepada guru yang mendidik anaknya sebagai berikut:
“Hendaklah yang pertama-tama kamu lakukan di dalam memperbaiki anakku, adalah perbaiki dulu dirimu sendiri. Karena sesungguhnya mata anak-anak itu hanya tertuju kepadamu. Maka apa yang baik menurut mereka adalah apa yang kamu perbuat, dan apa yang jelek menurut mereka adalah apa yang kamu tinggalkan”.[182]
Pendidikan praktis menunjukkan bukti bahwa anak secara psikologis cenderung meneladani orang tuanya, karena adanya dorongan naluriah untuk meniru. Kualitas agama anak serta ketauhidannya sangat tergantung kepada orang yang terdekat dengan mereka yakni orang tua. Kepribadian anak akan terbentuk dan terpola dari teladan yang ia tiru sejak awal kehidupannya dalam keluarga. Islam telah memberikan contoh kepada para orang tua kepada sosok bernama Lukman Al Hakim, yang mengajarkan bagaimana seharusnya seorang ayah menuntun dan menanamkan ketauhidan kepada anak-anaknya, contoh ini tidak hanya melalui perintah tetapi keteladanan Lukman Al Hakim sendiri sebagai orang tua.[183]
Orang tua merupakan sentral figur bagi anak dalam keluarga, sehingga jika kita meminjam konsep yang ada dalam Quantum teaching disebutkan bahwa semuanya berbicara, semua yang dilakukan orang tua, bahkan mimik wajahpun semunya menyampaikan informasi bagi anak. Semuanya menjadi sumber anak untuk belajar, sehingga jiwa ketauhidan harus selalu terpancar dari setiap wajah orang tua. Kepribadian yang menunjukkan bahwa orang tua hanya takut dan tunduk kepada Allah SWT, muncul dalam setiap aktivitas yang ada dalam keluarga. Metode keteladanan merupakan satu tehnik pendidikan yang efektif dan sukses dalam pendidikan Islam.
Anwar Jundi menpernah menuliskan dalam sebuah kitabnya, agar para otang tua dan guru agar memberikan tauladan yang baik kepada anak-anak. Sebab melalui cara ikut-ikutan dan menirulah anak kecil belajar, dibandingkan dengan nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk melalui lisan.[184]
Nashih Ulwan menegaskan bahwa keteladanan merupakan tiang penyangga dalam meluruskan perilaku anak, juga sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas anak menuju pribadi yang mulia.[185]Sebenarnya metode keteladanan ini tidak dapat dilepaskan dari metode pembiasaan sebagai dua metode yang sinergis, insyaallah metode ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Salah tauladan dalam keluarga akan berakibat fatal, oleh sebab itu para orang tua haruslah mempersiapkan diri mereka sebelum memiliki anak dengan ketauhidan yang didukung dengan pengetahuan tentang tauhid yang melingkupi materi dan ruang lingkupnya. Sehingga melalui tauladanisasi para orang tua insyaallah akan melahirkan generasi-generasi muslim yang sejati dengan kepribadian tauhid yang mantap.
Islam telah memberikan contoh kepada kita semua seorang figur yang memiliki akhlak yang sempurna. Ketauhidan beliau sangat mantap, sehingga andaikata bulan dan matahari diletakkan dipangkuannya ia tidak akan melepas ketauhidannya kepada Allah SWT, ialah Nabi Muhammad saw. Sehingga bagi para orang tua tidak hanya cukup menjadikan dirinya sebagi teladan anak-anaknya, namun juga harus mengarahkan dirinya serta anak-anaknya untuk meneladani keteladanan Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat beliau yang memiliki kepribadian tauhid yang mantap dan sudah terbukti.
3. Pembiasaan.
Pembiasaan adalah proses untuk membuat orang menjadi biasa. Jika dikaitkan dengan metode pendidikan Islam maka metode pembiasaan merupakan cara yang dapat digunakan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama Islam. Metode ini sangat efektif untuk anak-anak, karena daya rekam dan ingatan anak yang masih kuat sehingga pendidikan penanaman nilai moral, terutama ketauhidan ke dalam jiwanya sangat efektif untuk dilakukan. Potensi dasar yang dimiliki anak serta adanya potensi lingkungan untuk membentuk dan mengembangkan potensi dasar tersebut melalui pembiasan-pembiasan agar potensi dasar anak menuju kepada tujuan pendidikan Islam, hal ini tentunya memerlukan proses serta waktu yang panjang.[186]
Kebiasaan seseorang, jika dilihat dari ilmu psikologi ternyata berkaitan erat dengan orang yang ia jadikan figur dan panutan.[187]Nashih Ulwan menjelaskan bahwa landasan awal dalam metode pembiasaan adalah “fitrah” atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang diistilahkan oleh beliau dengan “keadaan suci dan bertauhid murni”. Sehingga dengan pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali kepada tauhid yang murni tersebut.[188]
Pendapat Imam Ghazali yang dikutip oleh Nashih Ulwan menjelaskan bahwa bayi mempunyai hati yang bersih dan suci, ia merupakan amanat bagi para orang tuanya. Oleh sebab itu hati yang bersih dan suci tersebut harus selalu dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, sehingga ia akan tumbuh dengan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, Sehingga diharapkan kelak akan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.[189]
Ada beberapa syarat yang harus dilakukan untuk menerapkan metode pembiasan ini antara lain :
a. Proses pembiasan dimulai sejak anak masih bayi, karena kemampuannya untuk mengingat dan merekam sangat baik. Sehingga pengaruh lingkungan keluarga secara langsung akan membentuk kepribadiannya. Baik ataupun buruk kebiasannya akan muncul sesuai dengan kebiasan yang berlangsung di dalam lingkungannya.
b. Metode ini harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus, teratur dan terencana. Oleh sebab itu faktor pengawasan sangat menentukan. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya anak akan terbentuk dengan kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten.
c. Meningkatkan pengawasan, serta melakukan teguran ketika anak melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
d. Pembiasan akan terus berproses, sehingga pada akhirnya anak melakukan semua kebiasaan tanpa adanya dorongan orang tuanya baik ucapan maupun pengawasan. Namun akan melakukannya karena dorongan dan keinginan dari dalam dirinya sendiri.[190]
Dr. Ahmad Amin menulis dalam kitabnya “Kitabul Akhlak” beliau mengatakan bahwa metode pembiasaan ini sangat penting karena seluruh aktivitas manusia terbentuk karena latihan dan pembiasaan. Lebih jauh lagi menurut beliau ada dua hal yang menyangkut kebiasaan baik dan buruk yakni :
a. Faktor interen dengan adanya minat, yakni dorongan yang berasal dari dalam diri manusia yang cenderung untuk melakukan aktivitas tertentu.
b. Faktor eksteren yakni adanya usaha agar anak cenderung melakukan kebiasaan-kebiasaan melalui latihan-latihan.[191]
Begitu pula dalam pendidikan tauhid dalam keluarga dapat dilakukan dengan pembiasaan atau latihan-latihan agar nilai-nilai ketauhidan tertanam dalam diri anak. Meskipun tidak dapat dipungkiri pendidikan tauhid sangat membutuhkan dan berkaitan erat dengan materi-materi pendidikan lain seperti akhlak, fiqih, dan sebagainya. Namun bagaimana seluruh materi pelajaran tersebut dapat mendukung kepada pendidikan tauhid sebab tauhidlah sebagai dasar dari seluruh materi tersebut.
Ketauhidan anak akan tumbuh melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang diterimanya. Biasanya konsepsi-konsepsi yang nyata, tentang Tuhan, malaikat, jin, surga, neraka, bentuk dan gambarannya berdasarkan informasi yang pernah ia dengar dan dilihatnya.[192]
Di antara pembiasan-pembiasan yang dapat dilakukan sebagai latihan untuk menyampaikan materi-materi ketauhidan dalam keluarga ialah :
1) Latihan Kalimat Tauhid.
Metode ini berkaitan dengan metode pertama yakni kalimat tauhid, perbedaannya adalah bahwa metode pertama hanyalah memperdengarkan kalimat tauhid yang ada dalam rangkaian adzan dan iqomah kepada bayi yang baru lahir. Selanjutnya didukung oleh keteladanan orang tua dengan selalu memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid kepada anak di setiap ada kesempatan dan waktu yang cocok, sehingga anak tidak lagi asing mendengar kalimat tauhid meskipun anak belum bisa mengucapkannya.
Setelah membuka pengetahuan pendengaran anak dengan kalimat tauhid maka langkah selanjutnya ialah mengajak anak untuk mengucapkannya, manfaat lain ialah sebagai pendidikan anak untuk mengenalkan kata-kata yang baik sebagai awal alat untuk berkomunikasi. Karena bahasa merupakan kemampuan yang terus berkembang seiring dengan informasi yang diperoleh sang bayi/anak.
Bayi memerlukan dorongan atau keinginan untuk berkomunikasi. Artinya anak harus memiliki kemauan atau keinginan untuk berbicara. Ketika mengeluarkan suara-suara ia merasa senang. Dari situ bayi akan merasakan bahwa berceloteh itu sangat menyenangkan dan tentu saja ia ingin mengulanginya lagi.[193]
Melalui bahasalah anak-anak mengenal Tuhan, mulai umur 3 tahun dan 4 tahun anak sering mempertanyakan tentang Tuhan. Kata-kata dan sikap orang tuanya tentang Tuhan akan direkam dan mulai menarik perhatiannya. Kata Allah pada awalnya tidak mempunyai arti, namun dari apa yang ia lhat dari orang tuanya anak mulai memahami siapa Allah. Selanjutnya semakin banyak inforamsi yang ia peroleh dari orang tuanya akan membentuk sikapnya tentang Tuhan.[194]
Mungkin awalnya bayi hanya bisa menangis dan kita mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah, ada apa sayang?, mungkin anak belum tahu apa maksudnya namun anak sudah menangkap dan ingin mengucapkannya namun belum bisa, sehingga kita perlu terus menerus mengulangi kata-kata tersebut. Kalimat-kalimat tauhid kita rangkaian dengan teguran manis dan sapaan, sehingga
anak akan termotivasi untuk ikut mengucapkannya.
Ada beberapa prinsip kebaikan yang perlu diajarkan dan dibiasakan kepada anak-anak oleh para orang tua yang ditawarkan oleh Nashih Ulwan. Urutan pertama yang ditawarkannya ialah agar para orang tua mengajarkan dan melatih anak-anaknya kalimat “Laa ilaaha illallah” (Tidak ada Tuhan selain Allah). Sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas yang maknanya agar setiap anak diawali dengan kalimat tauhid “Laa Ilaaha Illallaah”.[195]
Kalau kalimat tauhid terus menerus dan berulang kali didengar maka anak akan mencoba mengucapkannya meskipun belum sempurna pengucapannya dan mengerti maknanya. Setelah anak cukup besar dan mampu mengucapkannya dengan sempurna, maka tidak akan sulit lagi untuk mengajarkannya kepadanya tentang arti dan maksudnya. Untuk membantu pemahaman anak dapat dibantu dengan fenomena dan benda-benda yang ada disekitarnya yang langsung dilihat atau diperlihatkan. Seperti bunga, langit, bintang, binatang-binatang, bahwa semuanya termasuk dirinya adalah ciptaan Allah SWT. Dengan demikian akal pikirannya akan merekam dan mulailah tertanam ketauhidan di dalam jiwanya bahwa semua yang ada merupakan bukti akan keberadaan Allah.
2) Latihan Beribadah
Ibadah merupakan kebutuhan setiap muslim, sehingga dengan ibadah pun kita dapat mendidik dan menanamkan ketauhidan anak. Secara umum seluruh kegiatan yang bertujuan mencari ridho Allah adalah ibadah. Namun sebelum kita memperkenalkan terlalu jauh akan apa itu ibadah, kita harus mengajarkan ibadah-ibadah yang pokok dahulu kepada anak. Salah satu ibadah pokok yang kita lakukan adalah shalat.
Melibatkan si kecil beribadah adalah sangat penting, kita harus mendidik anak bahwa ketika datangnya waktu shalat, anak tidak boleh rewel, anak dapat merasakan kegembiraan orang tuanya untuk menegakkan shalat. Mungkin anak akan rewel ketika ditinggal orang tuanya shalat karena tidak ada yang memperhatikannya, ia akan merasa dicuekin. Metode yang digunakan adalah ketika orang tua berwudhu, anak juga dibasuh wajah, tangan, kakinya. Jika anak tidak tidur maka anak dapat digendong ketika shalat, orang tua membaca dengan keras agar anak mendengarnya. Kalau kita membiarkan si kecil menangis sendirian dan kita cuek menunaikan shalat maka akan tertanam ketidak sukaan si kecil terhadap suasana ketika datangnya waktu shalat, sebab ia akan sendirian dan dicuekin.[196]Oleh sebab itu sangat baik mengajak anak ikut serta dalam shalat. Jika hal ini secara kontinyu dilakukan maka anak akan tahu bahwa waktu shalat telah tiba dengan terdengarnya suara adzan. Orang tua dapat mencoba menidurkan anak ketika hendak shalat, tetapi jika anak tidak tidur, maka dengan berbasah basi untuk mengajak anak ikut serta. Anak akan terbiasa bahwa ketika shalat wajah, tangan, dan kakinya akan dibasuh meskipun ia belum tahu apa maksud dan tujuannya. Ibunya akan memakai pakaian khusus.
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan anak maka orang tua dapat dengan mudah mengajarkan ibadah shalat dan wudhu karena anak telah terbiasa dengan rutinitas shalat dan wudhu sejak ia kecil bersama orang tuanya. Orang tua tinggal menyempurnakannya dengan gerakan, bacaan, maksud, dan tujuan dari pada shalat. Juga tentunya mengajarkan wudhu pula yang sempurna. Jadi mendidik anak bukan hanya dengan teori saja tetapi langsung anak dan orang tua mempraktekkan aktivitas ibadah.
Setelah anak berusia tujuh tahun, merupakan kewajiban bagi orang tua memerintahkan anaknya untuk menunaikan shalat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء
عشرين سنين ...(رواه الحاكم وابو داود )
Artinya : Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika usia mereka sudah mencapai tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau melaksanakan shalat) ketika sudah berusia 10 tahun.
Namun sangat baik jika pendidikan shalat diawali sejak bayi karena ia akan terus berproses dan semakin lama anak akan tahu makna shalat serta fungsinya, sehingga ia akan mengerjakannya dengan kesadaran dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian anak akan berlatih untuk mencintai ibadah. Meskipun demikian orang tua harus memberikan penjelasan maksud dan tujuan dari shalat dan ibadah-ibadah yang lain.
Selain shalat ada baiknya setiap kegiatan ibadah, seperti puasa, dan ibadah yang lain anak sangat baik diikutsertakan. Sehingga melalui interaksi dan komunikasi yang baik akan terjalin ikatan yang erat antara orang tua-anak. Terjalinnya hubungan yang harmonis antara anak-anak dengan orang tuanya akan memudahkan pendidikan ketauhidan tahap selanjutnya karena kepercayaan dan keyakinan para anak terhadap orang tuanya. Waktu setelah shalat dapat dimanfaatkan orang tua untuk mendidik anak dengan metode nasehat yakni melalui dialog dan cerita-cerita yang insyaallah akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
3) Latihan Berdoa Di setiap Aktivitas.
Metode pembiasaan bertujuan mengembangkan potensi dan kemampuan daya tangkap dan daya ingat anak yang masih kuat, sehingga semua yang didengar dan dilihat dapat direkam untuk selanjutnya dipraktekkan anak berupa ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu diperlukan kesabaran dan ketekunan orang tua untuk terus mengulang-ulang ucapan atau perbuatan baik ketika ucapan dan perbuatannya didengar atau dilihat oleh anaknya.
Pada masa perkembangan pertama yakni antara 0-2 tahun, anak dapat dilatih dengan kebiasaan-kebiasaan seperti membaca bismillah ketika mau makan dan minum, dan membaca alhamdulillah ketika selesai atau ketika diberi sesuatu oleh orang lain. Meskipun kata yang diucapkan belum sempurna, bismillah diucapkan anak milah atau alhamdulillah dengan duilah.[197]
Latihan ini pada awalnya harus dimulai oleh orang tua setiap akan melakukan aktivitas. Sebelum orang tua melatih anaknya, maka ia harus melatih dan membiasakan dirinya mengucapkan doa atau kalimat-kalimat toyyibah. Ketika bersin mengucapkan alhamduulillah, ada yang jatuh atau menguap mengucapkan astaghfirullah. Metode ini mengharuskan orang tua untuk menghafal doa sehari-hari dan membiasakan diri mengamalkannya. Sehingga sejak bayi anak terbiasa mendengar dan diperdengarkan doa-doa dan kalimat-kalimat toyyibah, sehingga ketika kemampuan bahasa anak berkembang ia akan mencoba mengucapkannya. Ketika anak sudah dapat mengucapkannya dengan sempurna, tinggal orang tua memberikan penjelasan tentang maksud dan makna doa-doa dan kalimat toyyibah yang selama ini dilatih dan dibiasakan kepadanya.
Doa merupakan landasan dan pegangan setiap muslim ketika akan beraktivitas, dengan tujuan menyerahkan dirinya dan hasil dari aktivitas tersebut kepada Allah SWT, dan tujuan akhir yang ingin diperoleh ialah ridho Allah SWT. Melalui doa akan mengajarkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam kondisi lemah sehingga memerlukan bantuan dan pertolongan kepada yang Maha Kuasa. Melalui doa, juga anak akan merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah SWT, sehingga akan mengarahkan dirinya kepada hal-hal yang baik serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang dibenci dan dilarang Allah SWT. latihan dan membiasakan diri berdoa merupakan sarana untuk menguatkan dan mengokohkan ketauhidan dalam diri anak.
Jika jiwa anak selalu berzikir kepada Allah hatinya akan kokoh dan dekat kepada-Nya. Anak akan menjadi ahli ibadah, berakhlak mulia, terhindar dari perbuatan maksiat, lebih-lebih dari dosa dan kemungkaran. Ini adalah harapan para orang tua, yakni memperoleh anak yang penuh ketauhidan dan ketakwaan.[198]
4. Nasehat.
Seluruh metode pendidikan tauhid dalam keluarga yang penyusun jelaskan, semuanya saling berkaitan dan saling mendukung. Sehingga dalam mendidik ketauhidan anak tidak hanya menggunakan satu metode saja, namun harus menggunakan metode-metode yang lain, seperti metode kalimat tauhid; metode keteladanan; metode pembiasaan, dan sekarang metode nasehat. Metode-metode inipun, seperti yang sudah penyusun sampaikan membutuhkan materi-materi lain di luar materi ketauhidan.
Salah satu potensi yang ada di dalam jiwa manusia adalah potensi untuk dapat dipengaruhi dengan suara yang didengar atau sengaja diperdengarkan. Potensi ini tidak sama dalam diri seseorang, serta tidak tetap. Sehingga untuk dapat terpengaruh secara, suara yang didengar atau diperdengarkan haruslah diulang terus. Permanen atau tidak pengaruh yang dihasilkan tergantung kepada intensitas dan banyaknya pengulangan suara yang dilakukan. Nasehat yang dapat melekat dalam diri anak jika diulang secara terus menerus. Namun nasehat saja tidaklah cukup ia harus didukung oleh keteladanan yang baik dari orang yang memberi nasehat. Jika orang tua mampu menjadi teladan maka nasehat yang ia sampaikan akan sangat berpengaruh terhadap jiwa anak.[199]
Nasehat merupakan aspek dari teori-teori yang disampaikan orang tua kepada anak. Metode ini memiliki peran sebagai sarana untuk menjelaskan tentang semua hakekat.[200] Termasuk dalam menyampaikan dan menjelaskan materi-materi pendidikan tauhid adalam keluarga. Sehingga orang tua dituntut memiliki kemampuan bahasa yang baik agar anak dapat menangkap dan memahami semua penjelasan yang disampaikannya.
Nasehat ini harus dimulai juga sejak anak masih kecil, selain sebagai sarana pendidikan tauhid juga sebagai dorongan dan motivasi anak untuk belajar berbicara. Kemampuan bahasa anak akan diiringi oleh kemampuan otaknya juga. Maksudnya ketika ia mendengarkan sebuah nasehat ia akan merekam setiap kosa kata yang ia dengar dalam memorinya, serta akalnya juga mencoba memahami setiap kosa kata sampai kalimat yang ia dengar. Oleh karena itu bahasa yang digunakan orang tua haruslah sederhana dan jelas.
Nasehat dapat diberikan di setiap waktu jika ada kesempatan. Nasehat dapat juga berbentuk cerita, atau dialog untuk anak yang sudah bisa berbicara. Orang tua harus menerangkan tentang kalimat tauhid, tentang adanya Allah serta bukti kauniahnya, serta materi-materi lain yang telah penyusun terangkan pada bab sebelumnya.
Dalam memberikan nasehat orang tua janganlah bersifat otoriter terhadap pembicaraan, anak harus benar-benar dilibatkan dalam berbicara. Berilah anak kesempatan untuk berbicara, bahkan tanggapannya atau ada sesuatu yang ia tanyakan. Metode ini jangan dibuat kaku oleh orang tua, jika anak bertanya atau memberikan tanggapan tidak sesuai dengan materi yang dijelaskan orang tua harus berbesar hati, jangan sampai melihatkan wajah kekecewaan. Bahkan sebaliknya, orang tua harus memberikan penghargaan terhadap apapun respon dan reaksi yang diberikan anaknay terhadap nasehat-nasehatnya. Agar anak merasa enak dan nyaman dalam belajar.
Jika kita menggunakan asas yang ada dalam Quantum Teaching yakni
“Bawalah Dunia Mereka Ke Dunia Kita , dan Antarkan Dunia Kita Ke Dunia Mereka”, inilah asas dalam tehnik mengajar Quantum Teaching.[201] Orang tua harus mampu masuk ke dunia anak-anaknya, apa keinginan mereka. Ilmu psikologi akan sangat membantu orang tua, sehingga orang tua mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Orang tua harus mendapatkan hak untuk mendidik dari anak-anaknya. Jika keteladanan orang tua baik niscaya hak mendidik akan diberikan oleh anak-anaknya. Orang tua harus berusaha mendapatkan haknya untuk mendidik, sehingga harus berjuang menjadi teladan terbaik untuk anak-anaknya. Setelah orang tua berhasil masuk ke dunia anak-anaknya, maka ia akan memperoleh hak untuk memimpin, hak untuk mendidik. Langkah selanjutnya ialah membawa dunia kita ke dunia mereka, caranya ialah berusaha memberikan pengalaman setiap materi nasehat yang diberikan. Tehnik yang dipakai ialah dengan mengaitkan materi yang diajarkan dengan suatu peristiwa atau kejadian.
Orang tua dapat memanfaatkan media pendidikan yang telah ada seperti buku-buku cerita para rasul atau cerita-cerita teladan. Vcd-vcd yang memuat cerita para rasul juga dapat dimanfaatkan. Sehingga pendidikan nasehat yang disampaikan meliputi seluruh potensi yang dimiliki anak mulai pendengaran dan penglihatan. Metode ini akan lebih berhasil jika anak memperoleh pengalaman sendiri. Oleh sebab itu memerlukan latihan-latihan agar menjadi kebiasaan.
Orang tua harus menjadi jendela informasi anak-anaknya. Sehingga dibutuhkan pengetahuan dan wawasan yang luas agar dapat memberikan informasi secara baik dan benar. Kemampuan yang terintegral sangat diperlukan untuk menjadi orang tua yang menjadi top figur dan teladan anak-anaknya.
Metode ini digunakan untukmenyampaiakn materi-materi ketauhidan ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyat. Metode ini dapat dikembangkan dengan tehnik cerita, dongeng, atau dialog. Metode ini diterapkan untuk anak berusia 3 tahun ke atas, karena pada usia ini anak sudah dapat diajak dialog dan memiliki ketertarikan, termasuk kepada materi-materi ketauhidan, Namun harus tetap dikemas dalam bentuk yang menarik perhatian anak tentunya.
5. Pengawasan.
Nashih Ulwan menjelaskan bahwa dalam membentuk akidah anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan anak selalu terpantau. Secara universal prisip-prinsip Islam mengajarkan kepada orang tua untuk selalu mengawasi dan mengontrol anak-anaknya. Hal ini dilandaskan pada nash Al Quran dalam surat At-Tahrim ayat 6. Fungsi seorang pendidik harus mampu melindungi diri, keluarga dan anak-anaknya dari ancaman api neraka. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pendidik melakukan tiga hal yakni memerintahkan, mencegah dan mengawasi.[202] Bukan anak-anaknya saja yang ia awasi tetapi juga dirinya agar tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan dirinya terancam api neraka. Bagaimana ia melindungi keluarganya dari api neraka jika ia tidak mampu menjaga dirinya sendiri!.
Maksud dari pengawasan ialah orang tua memberikan teguran jika anaknya melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkannya kepada pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa orang tua siap memberikan bantuan jika anak memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami dan melatih dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya.
Metode ini dipakai orang tua untuk anak tanpa ada batasan usia. Metode-metode yang telah dijelaskan di atas harus ber- تدرج, yakni bertahap sesuai dengan usia anak, dan materi yang akan disampaikan. Faktor lain yang yang penting ialah bahwa semua metode tersebut saling terkait dan saling membantu, dan pendidikan tauhid juga sebagai sebuah proses. Oleh sebab itu hasil dari pendidikan tauhid dalam keluarga tidak dapat dilihat langsung hasilnya. Namun berkembang secara terus menerus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan tauhid dalam keluarga harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus. Para orang tua tidak boleh putus asa dan menyerah, apalagi sampai menghentikan pendidikan ini. Jika berhenti maka prosespun akan berhenti. Mengutip penjelasan Muhammad Zein, bahwa orang tua harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan tauhid anak. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk anak-anaknya.[203]
مامن مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
Artinya : Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan menetapi fitroh, Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.(HR. Bukhori).
a. Agar menanamkan kesadaran kepada anak untuk bersyahadat berdasarkan dorongan dalam dirinya sendiri.
b. Pembentukan sikap muslim yang beriman dan bertakwa.
c. Agar anak mengetahui makna dan tujuan beribadah kepada Allah.
d. Mengarahkan perkembangan keagamaan anak.
e. Agar anak selalu berpikirdan berperilaku positif
a. Untuk memberikan ketentraman dalam hati anak.
b. Untuk menyelamatkan anak dari dari kesesatan dan kemusyrikan.
c. Agar anak dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas.
d. Agar anak dapat mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah.
e. Agar anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.
f. Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga menjadikan tauhid sebagai falsafah dalam kehidupannya.
Abdullah, Abdurrahman, Aktualisasi Konssep Dasar Pendidikan Islam, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Tinjauan Filosofis Pendidikan Islam. UII Press. Yogyakarta, 2002.
Al-Bustani, Fuad Iqrami, Munjid Ath-Thullab, Dar Al-Masyriqi, Beirut, 1986.
Al Faruqi, Isma’il Raji, Tauhid, Terjemahan Rahmani Astuti, Pustaka, Bandung, 1988.
Al Hasan, Yusuf Muhammad, Pendidikan Anak Dalam Islam, Terjemahan Muhammad Yusuf Harun, Yayasan Al Sofwa, Jakarta, 1997.
Al Quran Al Karim, S.P. Diponegoro, Bandung, t.t.
Arif, Armai, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam. Ciputat Pers, Jakarta, 2002.
Asmuni, Yusron, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1993.
Basmalah, Yahya Saleh, Manusia Dan Alam Gaib, Terjemahan Ahmad Rais Sinar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.
Bastian, Aulia Reza, Reformasi Pendidikan, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Dawud, Muhammad Isa, Dialog Dengan Jin Muslim, Terjemahan: Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997.
DEPAG RI, Al Quran Dan Terjemahannya, Komplek Percetakan Al Quran Al Quran, Khadim ak Haramain asy Syarifain Raja Fahd, Madinah , t.t.
Deporter, Bobbi., Reardon, Mark., Nourie, Sarah Singer., Quantum Teaching : Mempraktikkan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas. terjemahan Ary Nilandari,Kaifa, Bandung, 2001,
Dinas P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984.
Harini, Sri, dan Al-Halwani, Aba Firdaus, Mendidik Anak Sejak Dini. Kreasi Wacana,Yogyakarta, 2003.
Hasyim, Umar, Anak Saleh 2 : Cara Mendidik Anak Dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983.
Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam : Tujuan , Materi, Dan Metode, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Ihsan, Hamdani dan Hasan, A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam. LPPI, Yogyakarta, 1995.
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
, Teologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Jalaluddin, dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam : Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Karsana, Konsep Pendidikan Jasmani Dalam Pendidikan Islam.Skripsi Sarjana Pendidikan Islam, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kayati, Yuni Nur, Anakku Sayang Ibumu Ingin Bicara, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999.
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1979.
Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa, sebuah Analisa Media Televisi. Rineka Cipta, Jakarta, 1996.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 2000.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah, Serta Harakah, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Mas’ud, Jubaran, Raid Ath-Thullab, Dar Al-‘ilmi Lilmalayyini, Beirut, 1967.
Ma’arif, A. Syafi’I, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, Tiara Wacana, Yogykarta, 1991.
Monks, F.J (et al), Psikologi Prekembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
Muhaimin dan Mujib, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993.
Muhsin, Abdullah bin Abdul, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1995.
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Dan Dakwah, SI Press, Yogyakarta, 1993.
Nasution, S., dan Thomas, M., Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah,. Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Nawawi, Syeikh muhammad, Fath Al Majid. Dar Ihy’ al Kutub al ‘Arabiyah, t.k., t.t.
Olgar, Maulana Musa Ahmad, Mendidik Anak Secara Islami, Terjemahan Supriyanto Abdullah Hidayat, Ash-Shaff, Yogyakarta, 2000.
Partanto, Pius A. dan Al Barry, M.Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola,Surabaya, 1994.
Rahmat, Jalaludidin (ed), Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Rasyid, Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam : Pola Hidup Manusia Beriman, Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, t.t.
Santhut, Khatib Ahmad, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral Dan Spiritual Anak Dalam Keluarga Muslim, Terjemahan Ibnu Burdah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1998.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Al Quran, Mizan, Bandung, 2002.
Silahuddin, Pendidikan Keimanan Pada Usia Anak : Tinjauan Psikologis, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Syahid, Syah Ismail, Menjadi Mukmin Sejati, Terjemahan Shohif, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001.
Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, PT. Remaja RosdaKarya, Bandung, 1997.
Tauhid, Abu, Beberapa Aspek Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.Yogyakarta, 1990.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Djambatan, Jakarta, 1992.
Turkamani, Husain ‘Ali, Bimbingan Keluarga Dan Wanita Islam, Terjemahan M.S. Nasrulloh, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992.
Ulwan, Abdullah Nashih, Pendidikan Anak Menurut Islam : Kaidah Kaidah Dasar. Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, PT. RosdaKarya, Bandung,1992.
Ulwan, Firyal, Misteri Alam Jin, Pustaka Hidayah, t.k., 1996.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah, Filsafat Tauhid : Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, Terjemahan M. Habib Wijaksana, Arasyi, Bandung, 2003.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Pt. Hidakarya Agung, Jakarta, 1989.
, Metodik Khusus Pendidikan Agama, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, t.t.
Zainuddin, Ilmu tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Zein, Muhammad, Methodologi Pengajaran Agama, Sumbangsih Offset Papringan, Yogyakarta, 1991.
Zuhairini (et al), Methodik Khusus Pendidikan Agama, IAIN Sunan Ampel, Malang,1983.
Zuhdi, Masjfuk, Masa’il Fiqhiyah, Haji Mas Agung, Jakarta, 1993
, Studi Islam, Jilid I : Akidah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Zurayk, Ma’ruf, Aku Dan Anak-anakku, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju Remaja, Terjemahan M. Syaifuddin Dkk, Al Bayan, Bandung, 1994.
B. Akses Internet.
Tabloid Kuntum. Juli, 2003
Majalah Tabligh.Vol.01/No.12/Juli 2003.
Suara Merdeka, 22 Februari 2003.
Gatra. No.17, 10 Maret 2003.
Citra 57/XIV, 24 September-30 September 2003.
CURRICULUM VITAE
Nama : Sucipto
Fakultas : Tarbiyah (00470020)
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 08 Agustus 1980.
Alamat Asal : Desa Pasar V Kebun Kelapa Kec. Beringin
Kab. Deli Serdang, Medan. Sumatera Utara.
Orang Tua/ Wali :
a. Ayah : Sutarjo
b. Ibu : Jumikem
Pekerjaan
a. Ayah : Tani
b. Ibu : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
1. SDN 10348 Desa Pasar V lulus 1993.
2. Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun lulus 1995.
3. Madrasah Tsanawiyah Swasta Nurul Huda lulus 1996.
4. Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Medan lulus 1999.
5. UIN Sunan Kalijaga angkatan 2000.
Yogyakarta, 21 Desember 2004
Sucipto.
LAMPIRAN
[1] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, SI press, Yogyakarta, 1993, h. 40.
[2] Dinas P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, h.959.
[3] Ibid, h. 204.
[4] Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002, h.11-12
[5] Sebagaimana dikutip Drs.H.M.Yusran Asmuni dari Tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen P & K, Jakarta,1989. dalam bukunya “Ilmu Tauhid”, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, h.1.
[6] Jubaran Mas’ud, Raid Ath-Thullab, Dar Al’ilmi Lilmalayyini, Beirut, 1967, h. 972.
[7] Fuad Iqrami Al-bustani, Munjid Ath-Thullab, Dar Al-Masyriqi, Beirut, 1986, h. 905.
[8] Syahminan Zaini, Kuliah Akidah Islam, Al Ikhlas, Surabaya, 1983, h. 54.
[9] Yusron Asmuni, Op.cit., h.2.
[10] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992. h.1.
[11] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, LPPI, Yogyakarta, 2004. h. 4.
[12] Ibid, h. 1.
[13] Ibid, h. 5.
[14] Dinas P & K, Op.cit, h. 232.
[15] Ibid, h. 536.
[16] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Haji Mas Agung, Jakarta, 1993, h. 53.
[17] Khatib Ahmad Santhut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral, dan Spiritual Anak Dalam Keluarga Muslim, Terjemahan Ibnu Murdah, Mitra Pustaka,Yogyakarta, 1998,h. 5
[18] Majalah Tabligh, Vol.01/No.12/Juli 2003.
[19] Gatra, Nomor 17, beredar Senin 10 Maret 2003
[20] Citra 57/XIV/Kamis, 24 September 2003-Rabu, 30 September 2003
[21] Suara Merdeka, Op.cit.
[22] Data ini penulis peroleh melalui akses internet. Selain pendapat Lutfiah Sungkar juga masih ada pendapat aktor laga Dede Yusuf, yang ikut memberikan komentar tentang hal yang sama, katanya“ Ini membawa hal-hal yang negatif,” kata Dede.Ia menambahkan terutama anak kecil yang mudah terpengaruh.
[23] Tabloid Kuntum, juli 2003.
[24] Syah Ismail Syahid, Menjadi Mukmin Sejati, Terjemahan:Shohif, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, h.78-79.
[25] Ibid, h.79-80
[26] DEPAG RI, Al Quran Dan Terjemahannya, Komplek Percetakan Al Quran Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd, Madinah , t.t., h.365.
[27] DEPAG RI, Op.cit., h. 745.
[29] DEPAG RI, Op.cit., h.1118.
[30] Sayid Sabiq, Aqidah Islam:pola Hidup manusia Beriman, Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Penerbit Diponegoro, Bandung, t.t., h. 8
[31] DEPAG RI, Op.cit., h.951.
[32] A. Syafi’I Ma’arif, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, Tiara Wacana, Yogykarta, 1991, h. 8.
[33] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, h.41.
[34] DEPAG RI, Op.cit., h.264.
[35] Al Quran Al Karim, S.P. Diponegoro, Bandung, t.t., h.142.
[36] Yahya Saleh Basmalah, Manusia Dan Alam Gaib, Terjemahan Ahmad Rais Sinar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, h.1.
[37] Ibid, h.2.
[38] Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim, Terjemahan Afif Muhammad Dan H.Abdul Adhiem, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, h.9
[39] Ibid.
[40] Al Quran Al Karim, Op.cit., h.356.
[41] H.Abu Tauhied, Ms., Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1990, h.19.
[42] Firyal Ulwan, Misteri Alam Jin, Pustaka Hidayah, t.k., 1996, h.15
[43] Ibid, h.116.
[45] Daud Rasyid, Op.cit., h.18-19.
[46] Ibid. h. 19-20.
[47] Ibid, h. 21-22.
[48] Ismail Raji al Faruqi, Tauhid, Terjemahan Rahmani Astuti, Pustaka, Bandung, 1988, h.18.
[49] Ibid.
[50] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, h.934-935
[51] Hasan al Banna dalam Yunahar Ilyas, Op.cit., h.5-6.
[52] Yusran Asmuni, Op.cit., h. 6
[53] Ibid, h. 7
[54] Maulana Musa Ahmad Olgar, Mendidik Anak Secara Islami, Terjemahan Supriyanto Abdullah Hidayat, Ash-Shaff, Yogyakarta, 2000, h. 56.
[55] M.Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Mizan, Bandung, 2002, h.254-255.
[56] Khatib Ahmad Santhut,Op.cit, h.16
[57] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, h. 240.
[58] Al Quran Al Karim, Op.cit., h.114.
[59] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993, h. 229-230.
[61] Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam : Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h.53.
[62] Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., h.
[63] Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, Sumbangsih Offset Papringan, Yogyakarta, 1991, h. 68.
[64] Yusuf Muhammad Al Hasan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Terjemahan Muhammad Yusuf Harun, Yayasan Al Sofwa, Jakarta, 1997, h. 31-37.
[65] Ibid, h. 38-47.
[66] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 147.
[67] Ibid, h. 152.
[68] Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984, h.42.
[69] Ibid.
[70] Pius A Partanto, Op.cit., h. 770.
[71] DEPAG RI, Op.cit., h. 951.
[72] Abu Tauhid, Op.cit., h. 236.
[73] Ibid, h. 2
[74] DEPAG RI., Op.cit., h. 498.
[75] Ibid, h. 862.
[77] Ibid, h. 173.
[78] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Op.cit. h. 934
[79] Ismail Raji al Faruqi, Op.cit. h. 18
.
[80] Yunahar Ilyas, Loc.cit.
[81] Daud Rasyid, Op.cit. h.19-20.
[82] Ibid. h.21-22.
[83] Fredrick Luple dalam Husain ‘Ali Turkamani,.Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, Terjemahan M.S. Nasrulloh, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992, h.30.
[84] Husain ‘Ali Turkamani,.Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, Terjemahan M.S. Nasrulloh, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992, h.37.
[85] DEPAG RI, Op.cit.,h. 644.
[86] Fuaduddin dalam Sri Harini dan Aba Firdaus al-Halwani, Mendidik Anak sejak dini, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003, h.14.
[87] Ibid, h. 15.
[88] Abu Tauhid, Op.cit., h. 61.
[89] Jalaluddin Rahmat (Penyunting), Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, h. 23-24.
[90] Al Quran Al Karim, Op.cit., h.413.
[91] DEPAG RI. Op.cit. h.116
[92] Sri Harini dan Aba Firdaus al-Halwani, Op.cit. h.37-40.
[93] Zakiah Daradjat, Op.cit., h.57.
[94] Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 66-67.
[95] Zakiah Daradjat, Op.cit., h. 59.
[96] Yusron Asmuni, Op.cit., h. 2.
[97] Ibid, h. 18.
[98] Ibid.
[99] Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta Harakah, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, h. 27.
[100] Abdurrahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Tinjauan Filosofis Pendidikan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2002, h. 64.
[101] DEPAG RI.,Op.cit., h. 951.
[102] Ibid., h. 654.
[103] Ibid., h. 34.
[104] Abu Tauhid, Op.cit., h. 61
[105] Abu Tauhid, Op.cit., h. 23.
[106] Ibid, h. 23-24
[107] Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, t.t. , h. 23.
[108] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, h. 239.
[109] Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam : Tujuan , Materi, Dan Metode, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 66
[110] M. Saleh dalam Silahuddin, Pendidikan Keimanan Pada Usia Anak : Tinjauan Psikologis, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 27
[111] Ibid, h. 28.
[112] Yusron Asmuni, Op.cit., h. 7.
[113] Silahuddin, Loc.cit.
[114] DEPAG RI., Op.cit., h. 373.
[115] Abdullah bin Abdul Muhsin, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1995, h. 98.
[116] Zainuddin, Op.cit., h. 22.
[117] Hunainin, Op.cit., h. 37.
[118] H.Hamdani Ihsan dan H.A.Fuad Ihsan, Op.cit., h. 237.
[119] Yunahar Olyas, Op.cit., h. 6
[120] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Terjemahan M. Habib Wijaksana, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar Dan Firman, Arasyi, Bandung, 2003, h. 99
[121] Ibid, h. 110-111.
[123] Ali Abdul Halim Mahmud, Op.cit., h. 28.
[124] Ibid, h. 29.
[125] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Op.cit., h. 99-101.
[126] Ibid, h. 107-108.
[127] Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 51-55.
[128] Syeikh Muhammad Nawawi, Syarh Fath Al Majid, Dar Ihya al Kitab al Arabiyah,t. k., t.t., h. 5-37.
[129] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Op.cit., h. 201-202.
[130] Ibid. h. 102.
[131] Ibid, h. 106.
[132] Yunahar Ilyas, Op.cit., h.129.
[133] Ibid. h. 131-133.
[134] DEPAG RI, Op.cit., h.770.
[135] DEPAG RI., Op.cit., h. 667.
[136] Syeikh Muhammad Nawawi, Op.cit., h. 46.
[137] DEPAG RI., Op.cit., h. 828.
[138] Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 139-140.
[139] DEPAG RI., Op.cit., h. 674.
[140] Abu Bakar Al-Jazairy dalam Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 135.
[141] Ibid, h. 136.
[142] Ali Abdul Halim Mahmud, Op.cit., h. 39.
[143] Syeikh Muhammad Nawawi, Op.cit., h. 47.
[144] Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 151.
[145] DEPAG RI., Op.cit., h. 80.
[146] Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 77-78.
[147] DEPAG RI. Op.cit., h. 13.
[148] Ibid, h. 464.
[149] Ibid, h. 695.
[150] Yunahar Ilyas, Op.cit.h. 81-82.
[151] Ibid, h. 83-86.
[152] Ibid. h. 93.
[153] Muhammad Isa Dawud, Op.cit., h. 21.
[154] DEPAG RI. Op.cit., h. 224.
[155] Ibid, h. 392.
[156] Ibid, h. 862.
[157] Ibid, h. 984.
[158] Ibid, h. 226-227.
[159] Ibid, h. 14.
[160] Ibid.
[161] Sayid Sabiq dalam Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 93.
[162] Shobuni dalam Yunahar Ilyas, Ibid.
[163] Ibid, h. 95.
[164] Muhammad Isa Dawud, Op.cit., h. 60.
[165] Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 96-103.
[166] DEPAG RI, Op.cit., h. 206.
[167]Yunahar Ilyas, Op.cit., h. 103-105.
[168] DEPAG RI, Op.cit., h. 13.
[169] DEPAG RI, Op.cit., h. 714.
[170] Ibid, h. 679.
[171] Ibid, h. 1022.
[172] Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, h. 39.
[173] Ibid. h. 40.
[174] Abu Tauhid, Op.cit., h. 72-73.
[175] F. J. Monks (et.al), Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, h. 87.
[176] Maulana Musa Ahmad Olgar, Op.cit., h.32.
[177] Khatib Ahmad Santhut, Op.cit.,h.103.
[178] Armai Arif, Op.cit., h.117-118.
[179] Ibid. h. 117.
[180] DEPAG RI, Op.cit., h. 16.
[181] Armai Arief, Op.cit.,h. 122-123.
[182] Abu Tauhid, Op.cit., h. 89.
[183] Sri harini Dan Aba Firdaus Al-Halwani, Op.cit., h. 122-123.
[184] Anwar Jundi dalam Abu Tauhid, Op.cit., h.90.
[185] Abdullah Nashih Ulwan. Pendidikan Anak Dalam Islam : Kaidah Kaidah Dasar, Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, PT. Remaja RosdaKarya, Bandung, 1992, h. 44.
[186] Armai Arief, Op.cit., h. 110-111.
[187] Ibid, h.114.
[188] Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., h. 45.
[189] Ibid, h. 60-61.
[190] Armai Arief, Op.cit., h. 114-115.
[191] Dr. Ahmad Amin dalam Abu Tauhid, Op.cit., h. 95-96.
[192] Zakiah Daradjat, Op.cit., h. 43.
[193] Yuni Nur Kayati, Anakku Sayang Ibumu Ingin Bicara, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999, h. 38.
[194] Zakiah Daradjat, Op.cit., h. 59.
[195] Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., h. 61.
[196] Yuni Nur Kayati, Op.cit., h. 31-32.
[197] Umar Hasyim, Anak Saleh : Cara Mendidik Anak Dalam Islam 2, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983, h. 83.
[198] Hunaninin, Op.cit., h. 68.
[199] Muhammad Quthb, Op.cit., h. 334.
[200] Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., h. 66.
[201] Bobbi DePorter dkk, Quantum Teaching : Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, Terjemahan Ary Nilandari, Penerbit Kaifa, Banadung, 2001, h. 6.
[202] Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., h. 129.
[203] Muhammad Zein, Op.cit., h. 68.